PARA PENENTANG TUHAN
Pernahkah Tuan-Tuan sekalian menyaksikan seorang
anak kecil yang tengah bergaduh dengan ibu-bapanya? Sang anak memencak-mencak
kesal, mengucap sumpah serapah, bahkan dalam kemarahan anak kecilnya, menendang
dan memukul-mukul ibu-bapanya sendiri. Atau, pernahkah Tuan saksikan seekor
anjing yang menggigit Tuannya? Atau seekor kucing yang mencakar Tuannya.
Kalaulah Tuan-Tuan renungkan sejenak, siapalah yang menjamin kehidupan mereka
kalau bukan Tuannya itu. Yang mereka lawan. Yang mereka gigit. Yang mereka
cakar. Lebih-lebih lagi anak kecil itu, yang bertengkar dengan ibu-bapanya
sendiri. Yang ia lawan. Yang ia tendang. Yang ia pukul. Siapakah yang menjamin
hidupnya kalau bukan ibu-bapanya. Siapakah yang mengasuh-sapih besar ia kalau
bukan ibu-bapanya itu. Segala tetek bengek hidupnya, mulai dari hajat buang air
hingga hajat makan berpakaian diurus ibu bapanya.
Kalaulah Tuan-Tuan
bersedia merenung, bukankah serangkai peristiwa di atas adalah hal lucu?
Bagaimanalah bisa orang yang miskin hajat melawan sang pemilik segala pinta
hajat. Jikalau ia putuskan tak lagi mengurus anak itu, kemanalagilah ia pergi
mengadu? Siapa lagilah yang hendak mengurus hajat hidupnya? Padahal di sana
segala kebutuhannya didata dan dimakbul. Di sana pula ia hanya beroleh segala
pemenuhan hidup. Kalaulah orang yang menyediakan itu semua dilawan, bukankah
itu hal lucu? Padahal kita semua tahu ia alpa kuasa dan kekuatan. Tak cukup
tenaga buat melawan. Dan pasti dialah yang tumbang kalah.
Sekarang, kita pergi
kepada sesuatu yang lebih besar. Ada berapa banyak orang yang lupa diri dan
bersedia melawan Tuhannya? Padahal pada Tuhannyalah segala hajatnya
dikumpulkan. Pada Tuhannya pulalah diputuskan apakah pintanya diberi atau
ditolak. Sejarah agama kita telah mencatat, bahwa semenjak risalah kebenaran
turun pada Nabi-Rasul Tuhan, ada sebahagian orang yang berdiri menantang ‘kabar
gembira’ dan ‘petunjuk’ itu. Biasanya pinggang mereka dibebat ikat emas dan
pedang. Badannya diselimuti mantel sutra paling halus. Tangannya dilingkari
gelang-gelang gemintang permata dan cincin berpendar. Kepalanya ditimpa oleh
mahkota emas dengan simbol kejayaan dan kemegahan. Mereka palingkan wajah.
Mereka sumbat telinga-telinga. Mereka berdiri dengan kuasa dan pasukan. Dengan
ketakjuban tenaga dan bala tentara.
Bersedialah mereka
menjadi musuh-musuh Tuhan. Padahal jika ditilik hati kecilnya, jauh ke dasar
yang hitam, tahulah mereka bahwa perbuatannya sia-sia belaka.
Para Nabi-Rasul Tuhan
berkali-kali menghadapi orang-orang yang hilang akal pada kuasa dunia. Mereka
berdiri sebagai para pria yang bicara ‘kebenaran walau pahit’ pada penguasa. Yang
kesombonganlah yang membengkak di dadanya. Hingga tak tersisa ruang bagi cahaya
penerimaan kebenaran. Nyatanya mereka akan kalah. Nyatanya mereka bukan
siapa-siapa. Bukan apa-apa. Sama sekali bukan tandingan Tuhan.
Maka para penentang
Tuhan dicatat tenggelam dan hilang. Namrud dengan Nabi Ibrahim. Firaun dengan Nabi
Musa. Herodes dengan Nabi Isa. Pemuka Quraisy—Abu Lahab, Abu Jahal, Umayyah bin
Khalaf, dan kroconya—dengan Nabi Muhammad. Mereka menjadi makhluk paling hina
dina seumur dunia. Buktinya? Manalah ada orang mau dipanggil Firaun. Mengamuklah
orang bila anak-anaknya diusulkan diberi nama Abu Jahal saja.
Tapi Allah berkata
tidak semudah demikian. Mereka orang-orang spesial. Yang diangkat dan
ditinggikan. Dipilih dan dimuliakan. Menentang sabdanya berarti menentang
Tuhan. Maka kadang kalanya, dan agaknya memang selalu, para Nabi tanpa pasukan
itu menang dari jalan keajaiban. Tentaranya ialah alam semesta. Kekuatannya melampaui
keajaiban sihir yang menipukan mata. Sebagaimana ular besar Musa menelan ular
sihir penyihir Firaun, kekuatannya melampaui dan ditakjubi.
Padahal, telah mereka
perkuat selingkaran kekuasaan itu dengan pertahanan. Telah mereka kumpulkan
pasukan yang tunduk setia, tukang sihir ulung, pejabat negeri yang piawai, para
pemuka agama ‘pesanan’ yang bersedia mengatakan apapun yang mereka perintahkan.
Apalah yang tiada di
sisi Firaun. Ada Bal’am. Ada Haman. Ada tentara Mesir Qibti yang tunduk setia
di bawah kakinya. Tapi ianya berakhir di laut Merah. Dimakan oleh amuk
gelombang. Padahal Nabi Musa dan kaumnya hanya pelarian. Tak berkekuatan. Malah
ketakutan bukan kepalang. Tapi kekuatanya berasal dari keajaiban Allah. Yang
tiada dapat dilawan oleh kekuatan logika.
Maka, para penentang
Tuhan itu mati hina. Mereka yang menganggap dirinya jauh melampaui keperkasaan
Tuhan, diakhirkan dengan sesuatu yang dianggap remehtemeh. Namrud dikalahkan oleh
nyamuk. Padahal ia telah bangun Menara Barel untuk memanah Tuhan Nabi Ibrahim.
Air telah menenggelamkan Firaun. Padahal ia telah mengaku “Ana rabbukumul a’ala”. Abu Jahal mati di tangan dua anak kecil. Abu
Lahab mati karena borok di dahinya. Umayah bin Khalaf mati di tangan mantan
budaknya.
"Dzuq. Innaka antal
azizul karim.
(Rasakanlah) azab ini (sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia") [Q.S. Ad-Dukhan:49]
Maka kini kita katakan pada para penguasa penentang Tuhan. Yang
mendorong umat ini jauh ke bawah. Menekan umat ini agar tersiksa. Mengusir
mereka dari tanah airnya. Menghalang-halangi dakwah mulia agar sampai kepada
mereka yang haus akannya. Hendak melakukan makar dan mengkhianati cita-cita
luhur bangsa. Bersiasat untuk menghilangkan agama dan peran Tuhan dalam
kehidupan. Menangkap dan membunuh mereka yang berkata akan kebenaran.
Bahwa jikalau mereka hendak menyematkan diri sebagai Tirani. Berbangga
sebagai diktator yang ditakuti. Berperasa aman dengan sekumpulan pertahanan
yang mereka punya—tentara, menteri yang setia, ulama yang berada di sisinya,
kita katakan saja, ‘mungkin engkau akan mati hina dina.’ Entah tenggelam atau
karena seekor nyamuk atau karena anak kecil atau karena borok luka di tubuhnya.
Pertahananmu akan runtuh. Pongahmu akan tenggelam. Tiada orang mau anak cucunya
dinamai sedemikian atas namamu.
Dan jikalau dia hendak bertaubat di akhir putus-putus napasnya,
diingatkanlah akan ia kejadian yang dialami Firaun. "…
hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya
percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil,
dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." Mengapa
baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak
dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan." [QS. Yunus:
90-91]
Ditulis di: Bumi Allah
24 Ramadhan 1439
Komentar
Posting Komentar