Perempuan di Titik Nol



            Tulisan ini saya buat sebagai penghormatan—kalau dapat dikatakan demikian—terakhir saya kepada Nawal El-Sha’dawi, salah satu perempuan paling kontroversi bukan hanya di Mesir atau dunia Arab, tapi juga di seluruh dunia. Pada tanggal 21 Maret lalu, Nawal mengembuskan napas terakhirnya di usia 90 tahun di Mesir. Akhirnya ia pergi menghadap Tuhan. Menariknya, ia pernah mengaku bahwa di usia 6 atau 7 tahun, Nawal pernah menulis surat yang ia tujukan kepada Tuhan tentang keluh kesahnya sebab Tuhan ia nilai tidak adil karena memperlakukan abangnya lebih baik daripada dirinya. Nawal menulis, “dan jika Engkau tidak adil, bagaimana bisa aku mulai percaya kepada-Mu?” Khukhu. Mungkin kini Nawal bisa percaya bahwa Tuhan yang ia cela “tak adil”, “Tuhan laki-laki”, itu ada tanpa punya kesempatan untuk menarik kata-katanya dan meminta maaf.

            Nawal memang dikenal sebagai perempuan “yang melompati masyarakatnya”. Sebagai seorang dokter, penulis, aktivis perempuan, ia menentang praktik sunat pada perempuan. Ia dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Mesir, keluar masuk penjara selama rezim Presiden Anwar Sadat, pernah diasingkan ke luar negeri dan hidup berpindah-pindah sebab pandangan dan kritiknya kepada pemerintah. Ia mengkritik rezim dan masyarakatnya yang “kejam” dengan menulis banyak novel. Semuanya bermuara pada satu: “nasib dan peruntungan kaum perempuan di dunia Arab”. Jika Najieb Khaelani adalah aktuivis Ikhwanul Muslimin dan novelis yang buku-bukunya ditujukan untuk mengkritik rezim dan menyebarkan nilai keislaman, Nawal kebalikannya. Dia mengkritik rezim dan menyebarkan nilai-nilai feminis akut yang menentang budaya, kapitalisme, dan agama.

            Salah satu karyanya yang terkenal adalah Perempuan di Titik Nol: novel yang bahkan pada mulanya ditolak untuk diterbitkan di Mesir. Akhirnya, Nawal malah menerbitkannya di Lebanon tahun 1975 sebelum pada akhirnya diterbitkan dalam versi bahasa Inggris tahun 1983. Dalam bahasa Indonesia, Perempuan di Titik Nol diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada tahun 1989. Dan sudah sampai cetakan ke-16 pada tahun 2020. Dari seluruh karya nawal yang diterjemahkan ke banyak bahasa manusia, agaknya Perempuan di Titik Nol yang mahsyur dan punya tempat sendiri di hati orang-orang.

 

Nawal El Sa'dawi


            Perempuan di Titik Nol bercerita tentang Firdaus: tahanan perempuan yang ditemui Nawal di penjara Qanatir. Firdaus divonis hukuman mati oleh pemerintah. Dan ketika permohonan supaya hukuman mati itu digantikan dengan hukuman kurungan badan seumur hidup ditawarkan kepadanya, Firdaus menolak. Ia mati demi sebuah prinsip: “saya tidak bersalah. Kalau saya dihukum, para penghukum saya itulah yang zholim dan aniaya. Kenapa saya harus meminta pengampunan atas suatu kejahatan yang tidak saya lakukan? Meminta pengampunan sama artinya dengan mengakui perbuatan itu.”

            Nawal berkesempatan mewawancarai Firdaus beberapa hari sebelum eksekusi matinya. Ia bertutur cerita hidupnya: darimana ia berasal, bagaimana cerita ini bermula, dan bagaimana semuanya berakhir di sini: di penjara Qanatir dan di tiang gantung.

 

            Firdaus dilahirkan di sebuah keluarga petani miskin di Mesir. Ayahnya adalah pria bertempramen buruk yang gemar memukuli istri dan anak-anaknya. Ia pelit bukan main. Ia suka menyimpan makanan untuk dirinya sendiri dan makan dengan lahap di depan anak-anaknya sementara mereka semua kelaparan. Sejak kecil, Firdaus tidak hanya memiliki pengalaman buruk dengan ayahnya melalui tindakan kekerasannya, tapi juga terhadap laki-laki lain di sekelilingnya. Teman sepermainannya, Mohammadain, sering kali melecehkan Firdaus secara seksual. Dengan alasan bermain pengantin laki-laki dan perempuan, Mohammadain “menjelajahi” Firdaus yang polos. Kata Firdaus, “di bagian tubuh saya, saya tidak tahu pasti dimana, tumbuh sebuah perasaan nikmat yang luar biasa.” Bukan hanya Mohammadain, paman Firdaus, seorang terpelajar yang menimba pendidikan di Al-Azhar, pun melecehkannya secara seksual di rumah.

            Ketika orangtuanya meninggal, Firdaus diambil oleh pamannya dan disekolahkan di Kairo. Sebagai balas jasanya, Firdaus kecil harus mengurus rumah: mencuci pakaian, memasak, dan menyapu. Firdaus menikmati waktu-waktu awalnya di rumah pamannya di Kairo—ia mengaguminya sebagai murid Al-Azhar sekaligus laki-laki. Dia mendengarkan pria itu membaca kitab dan al-qur’an setiap malam dengan suaranya yang syahdu, merdu, serta kudus. Ia lebih dari sekadar seorang ayah untuk Firdaus. Dan, oleh sebab anggapan itulah, pamannya pun memperlakukannya lebih dari sekadar keponakan tersayang.

            Satu kali, Firdaus dan pamannya pergi ke bioskop sebagai hadiah atas kelulusannya di sekolah dasar. Di sana, Firdaus kecil melihat adegan dansa dan ciuman orang dewasa, sesuatu yang oleh anak seusianya malu buat dilihat. Pamannya berkata padanya, “berdansa itu dosa. Mencium laki-laki itu pun dosa.” Tapi, sebakda dari biskop, dalam malam yang menggigit, Firdaus kecil yang malu, takut, dan canggung, bersembunyi di balik selimut di kursi sementara pamannya menggeranyanginya dengan nafsu. Itu berkali-kali terjadi hingga Firdaus tak berani membuka mata pada apa yang terjadi. Ia baru tahu kalau pamannya “selesai” atas tindakannya ketika ia mendengar suara derik di tempat tidur. Perasaan nikmat sebagaimana yang ia rasakan dahulu di ladang bersama Mohammadain—teman masa kecilnya yang biadab itu—digantikan oleh sekelebat perasaan pedih dan ketakutan.

            Beberapa waktu setelahnya, paman Firdaus mendapatkan pekerjaan di Kementerian Wakaf. Ia kemudian menikah dengan putri salah satu gurunya di Al-Azhar—perempuan dengan latar belakang strata sosial lebih tinggi di atasnya. Oleh karenanya, Firdaus pindah untuk tinggal bersama mereka di sebuah apartemen dan disekolahkan di sebuah sekolah menengah. Kehidupannya tak banyak berubah—selain napasnya yang sedikit lega sebab tak lagi mengalami pelecehan dari pamannya. Ia harus lekas kembali dari sekolah dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah sementara istri pamannya memasak dan meninggalkan semua perkakas dapur untuk dicuci kemudian.

            Satu kali, entah sebab apa, Firdaus dipindahkan ke asrama di sekolahnya. Di sana dia bertemu dengan Wafeya, gadis yang menjadi teman bercakap-cakapnya, berbagi satu dua rahasia dari brangkas hatinya. Ia cepat bosan dengan sekolah dan menemukan dunianya di perpustakaan. Di sana, Firdaus belajar apa itu dunia. Dia membuka mata dan jadi banyak tahu soal rahasia-rahasianya. Dia menyukai buku-buku soal penguasa. Dan Firdaus mendapati sebuah kesimpulan bahwa.

“saya dapat mengetahui pula bahwa kebanyakan yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekausaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.”

Oh, para pembacaku tersayang—apalagi laki-laki—mulai menduga kalau agaknya novel Perempuan di Titik Nol ini hadir untuk menampar laki-laki. Sayangnya, ya!

Firdaus tamat dari sekolah itu dengan nilai terbaik nomor dua di sekolah dan nomor tujuh di seluruh negeri. Tak ada siapapun yang mengambil ijazah untuknya kecuali guru kecintaannya, Nona Iqbal. Paman dan bibinya baru datang tatkala di hari penjemputan. Dan ketika Firdaus kembali ke apartemen mereka yang kini semakin kecil—sebab rumah itu kini dipenuhi oleh anak-anak, paman dan bibinya berkasak-kusuk untuknya tiap hari.

“Mau diapakan anak dengan ijazah sekolah menengah ini? Dikirim ke Universitas? Mana mungkin seorang syeikh dan terpelajar mengirim kemenakannya untuk belajar dan bercampur baur dengan laki-laki. Mau dicarikan kerja? Butuh berapa lama sampai mereka menemukan pekerjaan untuk lulusan menengah? Perempuan, pula.”

Akhirnya, istri paman Firdaus menemukan ide: mereka akan menikahkan Firdaus dengan pria tua pegawai negeri pensiun yang masih bertali saudara dengan perempuan itu bernama Syeikh Mahmoud. Tujuannya sederhana: Firdaus bisa menemukan penghidupan baru dan lepas dari rumah tangga mereka, hidupnya terjamin, maskawinnya dapat mereka gunakan sebab suami-istri itu akan menukarkan Firdaus dengan dua ratus pon. Mereka berhasil.

Di rumah suaminya, Firdaus yang belum sembilan belas tahun harus berhadapan dengan pria tua berumur lebih dari enam puluh tahun. Orangnya kikir, perhitungan, wajahnya memiliki bisul besar di bawah bibirnya. Ketika Firdaus baru saja selesai melakukan pekerjaan rumah, pria tua menjijikkan itu datang dan menerkamnya seperti pria kurang makan yang melihat hidangan. Belakangan, pria itu jadi rewel bukan main dan suka marah-marah. Kemudian malah jadi tukang pukul yang membuat wajah dan seluruh tubuh Firdaus memar-memar.

Dia lari ke rumah pamannya. Tapi pamannya berkata, semua suami memukul istrinya. Istri pamannya menambahkan, justru pria yang paham agamalah yang akan memukul istrinya. Istri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya ialah kepatuhan yang sempurna.

Firdaus lari dari rumah suaminya ketika keadaan menjadi lebih buruk. Di jalan, ia dipungut oleh seorang pria pemilik warung kopi bernama Bayoumi. Mulanya, Bayoumi berjanji mencarikannya pekerjaan. Ujungnya, pria itu malah memukuli Firdaus dan melecehkannya beramai-ramai dengan teman-temannya. Firdaus kabur lagi.

Pada puncak putus asanya, dia bertemu Sharifa Salah el Dine. Semua orang mengenal perempuan itu: pelacur tersohor di kota. Sharifa berkata pada Firdaus, “lelaki tidak tahu harga seorang perempuan, Firdaus. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga bagi dirimu semakin dia menyadari  hargamu itu sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang dimilikinya. Dan bila ia tidak memilikinya, ia akan mencuri dari orang lain untuk memberimu apa yang kau minta.”

Firdaus bekerja untuknya tanpa ia mengerti. Ia menerima banyak laki-laki tanpa mengerti kenapa ia harus menerimanya. Ia membiarkan mereka menidurinya tanpa menerima apapun di kantongnya. Tahu pada akhirnya bahwa ia diperalat, Firdaus kabur dari rumah Sharifa. Ia bertemu dengan banyak pria “jahanam” di jalan. Dan pada satu titik dimana ia tak dapat benar-benar merasa hidup, seorang pria dengan mobil membawanya. Ketika ia sadar, dia berada di sebuah ruangan bermandikan cahaya. Dan uang.

Sejak saat itulah Firdaus mengerti nilai tubuhnya. Sejak itulah ia paham dimana letak berharga keperempuanannya. Ia bisa menghasilkan uang atas nama perempuan. Ia bisa memperoleh berapa puluh pon dalam beberapa jam berkat keperempuanannya. Dan kemudian, di usianya yang kedua puluh lima, Firdaus telah memiliki sebuah apartemen sendiri. Atas namanya. Tasnya berisi penuh dengan uang. Kulitnya bersih dan tubuhnya terawat. Laki-laki harus antre untuk mendapatkannya. Tarif yang dipatoknya tinggi bukan main. Dalam hidup dan pencapaian itu, dia bertemu dengan Di’aa, seorang penulis yang mengatakan pada Firdaus bahwa pekerjaannya “tidak terhormat.” Merasa dada dan harga dirinya dihantam palu godam, Firdaus merenungi hidup dan berpikir soal apa itu terhormat dan tidak terhormat. Dan pada akhirnya, dia pergi ke luar apartemen. Dia bersumbah bahwa dia takkan kembali kepada kehidupan “nikmat-nya”, selapar atau semenderita apapun dirinya. Dia mengantar lamaran ke setiap lowongan, ke semua instansi, departemen dan kementerian. Pada akhirnya, Firdaus mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar sebagai seorang receptionist.

Lambat laun, Firdaus kembali frustasi. Perusahaan tempatnya bekerja mengklasifikasikan karyawan senior dan junior. Mereka yang junior—apalagi perempuan—biasanya mendapat perlakuan semena-mena, dapat dieksploitasi sebebasnya, digaji rendah, dan bila ingin naik gaji, harus bersedia “jual diri” kepada atasan. Itu yang membuat Firdaus mulai berpikir bahwa kehidupannya sebagai pelacur jauh lebih terhormat daripada kehidupannya sebagai karyawan perusahaan. Sebagai seorang pelacur, dia memiliki apartemen sendiri, dia dapat menentukan dengan siapa dia berurusan, dan dia tak perlu bersempit-sempit di bus.

            Dalam kekalutannya, dia bertemu Ibrahim, lelaki revolusioner yang menyatukan pegawai junior di perusahaan itu untuk melakukan reformasi peraturan dan kenaikan gaji. Firdaus jatuh hati padanya. Ibrahim pun tampak demikian. Lewat kata-katanya yang manis seolah-olah dia pembela hak-hak manusia, lewat tindakan kelaki-lakiannya, Firdaus sepenuhnya meletakkan hati pada pria itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasakan apa itu cinta, apa itu rindu, apa itu menaruh harapan. Namun, saat pria itu bahkan sudah kebagian untuk “mencicipinya”, Ibrahim menikah dengan anak salah satu atasan mereka. Dia mendapat posisi baru, gaji baru, perempuan baru. Firdaus ditinggal.

            Firdaus mengatakan, “saya tidak pernah mengalami penderitaan seperti ini, belum pernah merasa sakit yang jauh lebih parah. Ketika saya menjual tubuh saya kepada laki-laki sakitnya jauh lebih ringan. Hanya khayalan saja, bukan kenyataan.” Dia melanjutkan, “tapi, saya mengharapkan sesuatu dari cinta. Dengan cinta saya mulai membayangkan menjadi seorang manusia. Ketika saya menjadi pelacur, saya tidak pernah memberikan sesuatu dengan cuma-cuma, tetapi selalu mengambil sesuatu sebagai imbalan. Tetapi di dalam cinta, saya berikan tubuh dan jiwa saya, pikiran dan segala daya upaya yang dapat saya kumpulkan dengan cuma-cuma ... Saya tidak minta apa-apa selain diamankan oleh rasa cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenali diri-sendiri yang telah hilang.

            Firdaus tiba di titik nadir hidupnya. Dalam patah arang dan patah hati, dia menetapkan prinsip hidupnya untuk hidup terhormat dengan “caranya”: menjadi pelacur. Dia berkata, “seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang perempuan suci yang tersesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum perempuan karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka kerena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar seumur hidup mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan.” Lalu Firdaus berkata, “perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.”

            Setelah keluar dari perusahaan itu dan kembali kepada kehidupan hitamnya, Firdaus membunuh seorang germo yang mencoba menguasainya. Kemudian, peruntungannya berakhir ketika dia bertemu dengan seorang Pangeran Arab yang membayarnya untuk tiga ribu pon. Firdaus meninju mukanya, hendak membunuhnya tepat ketika dia bisa melakukannya. Pangeran Arab itu tentu saja lebih kuat dan lebih punya daya daripada dirinya. Firdaus dibawa ke polisi. Dan kata-kata terakhirnya kepada mereka semua setelah ia dikatai liar dan berbahaya, “saya mengatakan kebenaran. Dan kebenaran itu liar serta berbahaya.”

            Firdaus mati di tiang gantu sebagai pahlawan—setidaknya begitu di mata perempuan-perempuan tertindas macam dirinya. Dia telah diajarkan oleh ayah dan paman dan suami dan kekasih bahwa untuk bertahan hidup, ia harus lebih keras dari hidup itu sendiri. Firdaus adalah manusia yang mati demi prinsip. Manusia yang lebih rela berkukuh dan dicap sebagai si tersalah daripada bebas tapi tunduk patuh pada penindasan.

            Novel Perempuan di Titik Nol mendapat sambutan yang luar biasa. Ia dihujat serta dipuji. Ia dicintai sekaligus dibenci. Bagi para laki-laki, Perempuan di Titik Nol adalah tamparan di pipi dan tinju di perut. Apalagi mereka yang menolak kekuasaannya diganggu gugat. Entah atas nama apa, laki-laki merasa benar untuk mengambil dan mengatur hidup kaum perempuan. Laki-laki, pada satu titik di hidupnya, baik revolusioner, agamis, atau konvensional sekalipun, adalah sama: mereka berjuang dan bertahan hidup untuk diri mereka sendiri.

            Kalau Nawal dikatakan membenci laki-laki, mungkin tuduhan itu ada benarnya. Kenyataannya, dalam sebuah acara talk show, dia berkata, “saya dijajah oleh tiga orang suami (sebab Nawal menikah tiga kali) atas nama perlindungan.” Dia menjadi feminis akut yang tidak hanya benci kepada orang-orang agama, tapi juga orang-orang kapitalis. Dia mengutuk semua jenis patriaki. Dia berjuang supaya kaum perempuan—terutama di dunia Arab—memperoleh kesetaraan dalam segala hal—bukan hal baru bahwa di Arab Saudi perempuan baru bisa mengendarai mobil sendiri di tahun 2013.

Pada akhirnya, saya akan memuji karya Nawal yang satu ini: sebuah potongan mahakarya dari jiwanya, Saya akan berkata “bravo” dan  bertepuk tangan pada pemikiran dan caranya menyebarkannya di buku—walau saya tidak akan sependapat dengannya, tentu saja. Pun demikian, saya adalah pengagumnya. Para pembaca kolot, apalagi dari kaum pria, tentu tidak akan siap membaca karya Nawal satu ini. Mana mungkin mereka mau dikata-katai sebagai pembohong, tukang hasut dan rayu, bahwa semua laki-laki punya tujuan yang sama: uang, kekuasaan, perempuan.

Dan, Nawal, kini kau telah pergi menemui Tuhanmu. Sekarang, kau bisa pertanggungjawabkan semua yang kau yakini dan kau katakan di hadapan-Nya. Jika kau bisa hidup kembali, aku ingin membaca buku pertama yang kau terbitkan tatkala kau berjumpa dengan Tuhan yang semula kau caci maki. Aku ingin tahu apa pendapatnya soal buku-buku dan pemikiranmu. Daripada itu, Nawal, aku bersumpah, bahwa buku ini: Perempuan diTitik Nol, pasti tidak akan mati selamanya. Selama masih ada perempuan, selalu saja ada penindasan. Selama masih ada kapitalis, selalu akan subur dan hidup budaya menguasai dan dikuasai. Majikan atau budak. Selamat tinggal, Nawal. Dan terimakasih.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPAGANDA JEPANG

KHAN AGUNG MONGOL (DINASTI YUAN)