Berdamai dengan Pancasila dan Demokrasi
Sidang Konstituante 1956 |
Dalam
temperatur suhu-suhu rawan itu, bermunculan lah para calon pemimpin umat.
Orang-orang yang berasal dari rakyat. Yang sama strata dan kedudukannya. Yang ditunjuk
untuk mengayomi umat sekaliannya. Beberapa dari mereka adalah perwakilan suara
umat yang murni, jujur, luhur, dan bersih. Yang bersetia sedia mengemban amanah
sebagai khadimul umah. Yang dapat
ditelisik tetes niat di hatinya. Yang kasat mata apa tujuannya. Yang pasang
badan sebagai lahan tembak musuh-musuh agama.
Di sisi
yang berseberangan, dicalonkan pula pemimpin abu-abu. Tak jelas kesetiannya
pada ummat. Beberapa bahkan telah menunjukan ketidaksimpatiannya pada persoalan
keumatan. Terang-terangan berkhianat sebelum dipanggulkan amanah di pundaknya.
Akan tetapi, banyak penyokongnya. Kuat terali bajanya. Tinggi cita-citanya
untuk berjaya. Namun telah kita lihat sumringah taring di deretan giginya. Yang
kita syak waspada akan mengoyak daging kita sendiri saat dia naik ke bangku
kuasa. Tak terkira berapa tanduk setan yang menginginkannya naik singgasana.
Kira-kira apalah tujuannya? Tentu saja untuk melepaskan kemungkaran, membiarkan
kemaksiatan, meloloskan pelanggaran moral, perusakan agama, ketidakterikatan
pada norma dan budaya timur yang luhur.
Pada
akhirnya, kepada umatlah semua itu disodorkan. Apakah ia mau yang mana?
Sebabnya kedua-dua calon pemimpin itu mengadah suara dari umat sekalian.
Sebagaimana hukum demokrasi telah mengatakan, “bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.”
Begitulah
pertarungan dihadapkan pada mereka. Umat akan berjuang atas nasib keumatan
sendiri. Merekalah yang akan menentukan gambaran kehidupannya. Apakah sosial
kemasyarakat berubah madani dan dirahmati, atau justru tenggelam dalam
kemungkaran yang secara sadar diciptakan. Di negeri kita tercinta ini, setelah
terjadinya amandemen UUD tempo lalu, nasib keumatan itu pula ditentukan setiap
lima tahun sekali. Setiap lima tahun sekalilah kita mempertempurkan yang haq
dan yang bathil. Setiap lima tahun sekalilah kita mempertaruhkan nasib keumatan
di atas meja pemilihan. Apakah ia akan lebih baik dari sebelumnya. Atau justru mundur
lebih jauh beratus langkah ke belakang.
Akankah
kita meninggalkan pemimpin yang berpihak pada umat ini sendirian? Tentu saja
tidak. Samalah hal itu kiranya, Tuan-Tuan sekalian, dengan menyerahkan kepala
kita di atas rel kereta untuk digilas. Sebab bila telah kita biarkan ia
berjuang sendirian, tanpa suara kita memenuhi pundi-pundi namanya, kalahlah ia.
Naiklah musuh-musuhnya, musuh-musuh Tuhan pula, ke tampuk tinggi kuasa.
Diperintahlah kita oleh orang-orang yang membangkang pada agama, diragukan
kesetiaannya pada Tuhan, mesra dengan musuh-musuh dari sekujur penjuru, ngawur
kebijakan dan dekritnya. Pada akhirnya menyiksa sekalian memukullah ia pada
kita, yang suka atau tak suka, telah mengangkatnya sebagai pemimpin dari tangan
kita sendiri.
Setelah
pemilihan raya di ibukota Jakarta berlangsung, telah menganga persoalan haq dan
bathil ini ke seantro negeri. Alhamdulillah, Bapak Anies Baswedan dan Sandiaga
Uno telah memenangkan pemilihan raya di ibukota, mengalahkan petahana yang
pongah jemawa. Yang terang-terangan kebencian dari mulutnya pada umat Islam.
Yang membuat kita terheran bukan main, banyak pula umat Islam mendukungnya. Padahal
jelas benderang ia berbeda akidah. Perkara terlarang dalam agama. Tapi tetap
dilanggar juga. Allah menghendaki sebaik-baik makar. Musuh Allah pun tumbang
dan dihinakan. Terpenjaralah ia selama dua tahun lamanya.
Setelahnya, umat pun sadar
dari ninabobok panjangnya. Menjadi serius pada hak suaranya, pada paku
coblosnya, pada calon yang hendak memimpinnya. Sebab satu suaranya akan
menentukan kemana bahtera negeri ini dibawa.
Telah
cukuplah kiranya bila dikatakan bahwa perjuangan para Mubaligh, para Kiyai, para
Ustadz, para Ulama, para Cendikiawan Muslim dari balik meja-mimbarnya untuk
mencerdaskan umat telah terpenuhi. Tapi alangkah disayangkannya, di tengah arus
yang kian deras dan mengamuk murka, di titik dimana para khadimul umat berharap pada suara rakyat dan kekuatan dahsyat umat
untuk menyokongnya naik, ada sekelompok orang yang malah menurunkan tangannya,
menjauh dari pemilihan, menyingkir ke tepian sambil berkata, “demokrasi itu
adalah sistem haram. Ciptaan kekufuran. Pemerintahan versi orang-orang kafir.
Dan hendaklah kita menjauh dari sistem itu agar terhindar dari kekufuran. Orang
yang masuk menyucuk dan dicucuk, memilih dan dipilih, samalah kesemuanya
sebagai orang-orang berdosa yang masuk ke dalam sistem kufur.” Mereka pun
menambahkan, “Rasulullah tak pernah masuk ke dalam sistem kaum kuffar
jahiliyah. Maka kita harus mengikut hal yang sama.”
Orang-orang
ini menginginkan syariat Islam diterapkan dalam kehidupan, memimpikan hadirnya seorang
Khalifah, sebagaimana masa lalu menorehkannya dengan berani dalam tinta emas
dan keperakan dalam kitab sejarah kita. Tak terperi selaksa rindunya mereka
pada sistem indah nan permai itu, yang menjaminkan seluruh umat muslim hidup
dalam kesejahteraan dan sentausa dalam naungan hukum-hukum yang telah
digariskan Allah dan rasul-Nya. Tak terhingga penolakan mereka terhadap sistem-sistem
hukum barat, praktik riba, undang-undang warisan orang-orang kafir penjajah
yang diwariskan pada pemerintahan ‘merdeka’ kita.
Kita
katakan pada orang-orang ini, “kami pun begitu”. Kita pun menolak sekujur hukum
warisan penjajah kufur Belanda itu. Yang diterapkan dengan coreng arang memalukan
di dahi. Memalukan bangsa merdeka sebab tak kembali pada fitrahnya sebagai
penganut muslim sejati yang musti taat pada apa-apa yang diturunkan Allah.
Seolah-olah kita bangsa bar-bar tak beradab yang tak memiliki pegangan hukum
luhur yang dijunjung suci dan tinggi.
Moh Natsir dalam kampanye nya |
Namun,
kita pun katakan pada mereka, “kita memperjuangkannya lewat cara-cara yang
legal. Masuk ke dalam sistem. Berjuang dengan jantan di parlemen.
Memperjuangkannya dengan kebijakan yang mungkin diciptakan. Memberikan mandat
secara legal. Memperjuangkannya secara sah dan diakui negara. Bukan malah kabur
ke tepi, tidak ikut andil ketika mengangkat pemimpin, namun banyak komentar
ketika terjadi kesewenangan dan kezhaliman dimana-mana.”
Tidak
dapat dipungkiri pula, selama hampir empat tahun pemerintahan rezim ini, bukan
mainnya kita tersudutkan. Empat tahun yang panjang dilewati dengan hati yang
sempit akan maaf, luas akan kutukan dan umpatan, ketidaksabaran untuk mengganti
pemerintahan yang menggebu-gebu, derai isak air mata yang mengharu biru atas
godam dan palu yang dipukulkan kepada kita. Ulama-ulama yang kita hormati, yang
kita cium tangannya, yang kita harap berkahnya, dipenjarakan bagai maling ayam.
Cendikiawan yang kita hormati isi kepalanya ditendang bagai orang pandir tanpa
pendidikan. Organisasi yang telah merawat tumbuh kembang islam dan anak generasinya
diacak-acak bagai kobokan. Dibubarkan. Diburu. Dicari salah silapnya.
Pendidikan Islam diwaspadai sebagai sarang pengkaderan generasi fanatik dan
radikal. Hampir tak ada tempat aman untuk berbicara. Bahkan media telah
dikendalikan dan rakyat yang buka suara telah diancam. Berbagai peraturan turun
sebagai anak panah dan bom pesawat. Menderitalah keumatan selama empat tahun
ini, yang dilalui dengan perasaan lama dan bosan.
Ketika
kezhaliman turun dari atas, mereka, orang-orang yang melarikan diri dari sistem
itu pun banyak mengkritik. Mengeluh. Mengumpat. Saat proses kenaikan pemimpin, pertarungan
haq dan bathil tempo lalu, dimanakah mereka semua?
Yang
lucu, Tuan-Tuan, orang-orang yang melarikan diri dari sistem ini mau bekerja di
instansi pemerintah, mau menjadi pegawai, mau mengambil beasiswa yang dikucur
negara. Padahal darimanakah semua itu turun dana kalau bukan diputus secara
demokrasi? Jika mereka mau adil dan jujur, hendaklah mereka menjauhi apapun
yang berhubungan dengan sistem negara. Sebagaimana Rasulullah tak pernah
mengambil keuntungan apapun dari sistem kaum kafir Quraisy. Mereka berkata, “Rasulullah
tak pernah masuk ke dalam sistem kaum kuffar jahiliyah. Maka kita harus
mengikut hal yang sama.” Benarlah itu! Tak dapat mungkir! Tapi, Rasulullah pergi.
Hijrah. Kabur dari Makkah. Menyeberang ke Madinah. Dibaiat oleh suku Aus
Khazraj. Kini bolehlah kita bertanya, kemana mereka akan berlari? Ke negeri antah
berantah mana mereka akan menagih baiat? Dimana mereka siapkan pasukan perang
sebagaimana Rasul menyiapkan pasukan perang Badar saat diabaiat di Madinah?
Akankah mereka hendak membentuk pemerintahan tandingan dalam negara dan
meruntuhkan saingannya?
Daftar kandidat Masyumi |
Kita
pun harus mengakui pula, bahwa sistem demokrasi itu banyak kurangnya, berserak
silap salahnya. Para cendikiawan muslim kita, baik dari angkatan tua atau yang
masih belia, para Ustadz, Kiyai, Ulama, pun mengakui, bahwa demokrasi itu costless. Menghabiskan banyak dana.
Tampak celanya. Rentan curangnya. Para ahli ilmu dari kalangan kita pun tak
segan mengakui BAHWA SYURO-lah sistem yang paling ideal bagi umat Islam. Bahwa
syuro-lah sebenar-benar pemerintahan Islam.
Kita
pun tak segan mengakui bahwa pancasila ‘yang sekarang’ tidak memelihara Islam.
Namun Islam akan memelihara pancasila. Sebagaimana hal itu pernah dikatakan Moh
Natsir dalam sidang konstituante, bahwa orang-orang yang tak mengakui Tuhan
sekalipun seperti orang-orang Komunis dapat berlindung di balik topeng
pancasila. Sebab ia asas universal. Dapat dimultitafsirkan oleh banyak pihak
yang kebanyakan tak bertanggungjawab.
Tapi,
memperjuangkan Islam dan Syuro ditempuh juga dengan cara legal oleh para Muslim founding father kita. Sebab
inilah gerbang yang terbuka. Inilah dharurat kita. Inilah jalan yang harus
dilalu tempuh demi tercapainya cita luhur dan mulia—melihat Islam tegak di bumi
nusantara.
Masyumi telah
memperjuangkannya dengan cara legal. Masyumi pun menginginkan Islam.
Menginginkan syuro. Menagih Islam sebagai ideologi negara. Tapi, dimanakah
mereka menagihnya? Di parlemen! Di sidang konstituante. Mereka berjuang
mendulang suara umat. Mereka penuhi parlemen dengan kursi-kursi mereka. Tugas
kita hanyalah mencerdaskan umat dengan sejujur-jujur sistem dan hukum,
sekaligus mengangkat pemimpin yang dapat menjadi pelindung kita. Tak ada
jaminan bahwa pemimpin itu akan menerapkan hukum Alah. MEMANG! Tapi biarlah
setidaknya ia tak menjadi penjegal dakwah di tengah jalan. Tak membungkam suara
kebenaran. Tak menghapuskan siapa yang bersuara atas nama Allah. Kelak, bila
suara rakyat telah bulat menghendaki syuro, atau ia yang naik telah mengerti
dan dicerdaskan oleh sejujur-jujurnya hukum Islam, syuro pun akan terbentuk.
Masyumi di Sumatera Barat (Waktu itu Sumatera Tengah) |
Para Ulama dan
cendikiawan dahulu pun telah berdamai dengan pancasila. Buya Hamka, Moh.
Natsir, Syafruddin Prawira Negara, Kasman Singodimedjo, H. Agus Salim, K.H.
Hasyim Wahid, K.H. Bagus Hadikusumo, dan diteruskan oleh semangat nadi Islam
oleh partai-partai Islam setelahnya, telah mengaku berdamai dengan pancasila.
Apa harapannya? Agar dikembalikannya tujuh kata yang hilang sebagaimana yang
disepakati dalam Piagam Djakarta tempo dulu. Ketuhanan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kini,
berpeganglah mereka bahwa Ketuhanan yang masa Esa di sila pertama itu terilhami
oleh Piagam Jakarta—sebagaimana yang Presiden Soekarno katakan. Dan akan
dikembalikan ke teks aslinya bila keadaan telah memungkinkan dan titik nadir
perjuangan telah mencapai puncak kuasa.
Apalah dampaknya bila
tujuh kata itu dikembalikan, Tuan-Tuan?
Kita pun akan berhukum
pada hukum Islam dengan sendirinya. Pengadilan Agama akan mengadili masalah
pidana. Bunga BANK akan dihapuskan. Muslimah-muslimah kita akan patuh berjilbab.
Polisi Syariah akan dibentuk. Pendidikan akan berubah kurikulum. Itulah kudeta
tak berdarah sesungguhnya. Bukan angkat senjata dan menurunkan pemerintahan
yang ada.
Lihatlah Jenderal Zia
ul Haq. Ketika dia berada di muncung kuasa sebagai pemimpin tertinggi negara,
dia rubah negeri Pakistan sebagai negeri syuro. Hudud berjalan. Riba tiada.
Bagaimanakah caranya? Duduk dulu sebagai penguasa. Tidak cukuplah hanya
berteriak di tepi jalan sambil membawa-bawa spanduk bertulskan, “kirimkan
tentara ke Rohingya!” Miliki kekuasaan! Andalah yang akan mengutus tentara ke
Rohingya.
Bayangkanlah, Tuan-Tuan
sekalian. Kalaulah ada dua orang calon pemimpin yang hendak dipilih. Yang satu
menaruh hati pada umat sedang yang satunya berpihak pada kemungkaran. Di
bawahnya, terdapat seratus rakyat untuk diperintah dan diminta suaranya. Rakyat
itupun terbelah dua. Lima puluh terdiri dari mereka yang memihak pemimpin umat,
dan lima puluh lainnya berpihak pada pemimpin yang mungkar—itulah orang-orang
sekuler, liberal, LGBT, aliran sesat dan kroni-kroninya. Andailah di antara
lima puluh orang yang berpihak memimpin umat, delapan orang saja tidak memilih
sebab alasan demokrasi adalah sistem kufur, berapakah perolehan suaranya?
42 untuk pemimpin umat.
50 untuk pemimpin kemungkaran. Siapakah yang naik?
Pemimpin kemungkaranlah
yang naik. Bila ia telah naik, siapakah yang akan dia libas dengan palu
godamnya? 50 orang yang berpihak pada pemimpin umat. Bukan 42 nya saja. Yang 8
orang tidak memilih itu pun dijadikan sasaran. Malah bisa di urutan pertama.
Diburu. Dibunuh. Dengan alasan mengganggu stabilitas kepemerintahan.
Maka, Tuan-Tuan Yang
Mulia, manfaatkanlah jalan yang ada
ini. Hitunglah ia sebagai dharurat. Yang
bila tak diambil, kita pun mati konyol dan sia-sia. Demokrasi bukan tujuan.
Pancasila ‘yang sekarang’ bukan sebenar asas. Tapi perlu waktu untuk
merubahnya. Perlu naik untuk mengganti kemungkaran yang telah dipiara jinak
selama berdekade abad. Maka marilah, saya ajak Tuan-Tuan sekalian berangkulan
tangan, dan menangkan pemimpin umat itu.
Moh. Natsir |
Marilah, angkat ia.
Cucuk gambarnya. Insya Allah ada jalan terang sedepa demi sedepa di depan.
Ditulis
di: Bumi Allah
13
Syawal 439
Komentar
Posting Komentar