Harapan pada Ramadhan
Dalam sebahagian besar hari raya, telah terbiasalah
rakyat Indonesia yang merupakan penduduk muslim terbesar di dunia, melakukannya
di waktu-waktu berbeda. Selama bergenerasi, orang-orang yang terikat oleh Muhammadiyah
melakukan shalat ied satu hari sebelum orang-orang kebanyakan. Berdasar
penanggalan-lah mereka berkeyakinan. Sementara sebahagian lainnya menunggu para
cerdik pandai meneropong mega untuk menyaksikan hilal di atas garis ufuk. Dan
melihat siaran pertelevisian dimana pemerintah—yang diwakili Menteri Agama—dan Majelis
Ulama Indonesia serta perwakilan ormas-ormas Islam seindonesia menetapkan
sidang isbat. Tahukah Tuan-Tuan sekalian dimana letak alat-alat ilmu falak
perbintangan untuk mengamati hilal itu sendiri? Di gedung pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
Alhamdulillah, telah
dua tahun berturut-turut kita tunaikan puasa dan hari raya tanpa perbedaan. Agak-agaknya
itu rahmat besar dari Allah mengingat dua tahun belakangan umat Islam tengah
mencoba bersatu menjadi kekuatan besar. Hal itu terjadi akibat pelbagai peristiwa
yang menggoncang agama kita. Berbagai kejadian yang mencoba menjatuhkan
keagungannya. Mensudutkannya ke tepi peradaban. Mencoba menodai kesuciannya
yang luhur. Patutlah itu kita syukuri pula. Moga-moga terwujudlah ‘amul jamaah yang telah berlalu sebagai
sejarah itu di negeri kita tercinta.
Telah dua tahun kita
berlebaran bersama. Baik masjid-masjid Muhammadiyah atau masjid selainnya. Bertakbirlah
mereka terang-terangan. Tanpa rasa sungkan—sebagaimana yang dilakukan
masjid-masjid Muhammadiyah untuk menghormati masjid lain yang berbeda hari
raya. Kuat-kuat mereka bertakbir. Dengan volume toa memekak dan suara bilal mengayun-gayun.
Bersalam-salamlah mereka tanpa beban berpunggung, dengan sungging senyum paling
mesra, dengan rangkul paling hangat, dengan sapaan paling mulia, dengan doa dan
harap-harap paling tinggi.
“Taqabbalallahu
minna wa minkum”. Moga-moga Allah menerima puasa kami dan
puasa kamu semuanya.
Tuan-Tuan pembaca
sekalian, telah kita tunaikan perintah agama dua puluh sembilan hari lamanya. Telah
kita jaga amal ini agar ianya sesempurna yang dikadar. Agar amal-amal itu
mengetuk pintu langit, diterima sepenuh hati, dicatat sebagai penambah catatan
kebaikan. Telah kita jaga pula kualitas perintah agama itu sendiri. Agar tidak
hanya tuntas rukun-syaratnya. Tapi penuhlah perolehan pahalanya. Karena berapa
banyaklah orang-orang yang zhahirnya berpuasa, namun batinnya telah batal
berbuka. Ditahannya lapar dan dahaga. Tapi itu sajalah yang ia peroleh
semata-mata.
Ash-shoumu
lii wa ana ajzi bihi. Puasa itu untuk-Ku Dan hanyasanya
Akulah yang membalasnya.
Ramadhan membentuk diri
kita sebagai sebaik-baik pribadi muslim. Syarat pertama dan paling dasar untuk
membentuk sebuah peradaban Islam yang gilang gemilang. Ia tanamkan nilai-nilai
dasar. Bahwa kita berislam. Beriman. Dan berihsan. Perintah puasa itu sendiri
hanya diperuntukkan bagi orang beriman. Bukan orang yang hanya berislam. Tentulah harus berislam dahulu jika hendak beriman.
Bukan sekadar syahadat dan bersunat, namun mengakui rukun-rukun pokok percaya yang
enam.
Tuan-Tuan dan Puan-Puan
sekalian, andailah seorang istri berada di rumah. Sendirian. Tanpa sesiapa.
Anak pergi sekolah. Suami berangkat bekerja. Dikuncinya pintu rapat-rapat. Siapalah
yang tahu bila ia colekkan sedikit sambal pedas-manis yang ia masak ke
lidahnya? Siapalah yang tahu bila ia buat secangkir teh? Ia goreng telur dadar.
Ia santap dengan nasi panas-panas. Siapalah yang kiranya tahu? Siapa pula yang
kiranya tahu bila kita reguk beberapa tetes air berkumur ketika wudhu?
Kendatipun ada orang di sebelah kita, tidaklah dapat ia saksamai kerongkongan
kita yang naik turun.
Tapi kita tak mau
melakukannya. Kenapa? Sebabnya tak lain karena kita tahu Allah mengawasi kita.
Allah melihat kita. Allah ada bersama kita. Allah menyaksikan semuanya. Orang
yang sempurna keimanannya tentulah takkan bersudi berbuka diam-diam. Sebab ia
tahu, kendati tak satu dunia tahu, Allah tahu.
Kini, ramadhan yang
mengajarkan kita berbagai ihwal itu hendak pergi pula. Ia telah berpamitan
kepada kita dengan cara-cara paling santun. Dengan tarbiyah yang paling agung. Dengan hadiah kejutan di sepuluh akhirnya,
yang khairun min alfi syahrin. Orang-orang
yang serius pada ujian di hari pertama, pastilah serius hingga hari terakhirnya.
Sebab ia penuh harap pada hasilnya. Bilapun ada yang gugur di tengah jalan, atau
mereka yang puasa di awal, berbuka diam-diam atau terang-terangan di
tengah-tengah, dan ikut pula merayakan hari kemenangan, merekalah orang-orang
yang curang saat ujian.
Apalah harapan kita
pada ramadhan ini, Tuan-Tuan sekalian?
Telah mahfum kita, para
orang-orang tua dan ustadz-ustadz masa kecil dahulu telah berkata, jikalau
ramadhan terakhir telah berlalu, bedug berbuka di hari itu telah dipukul dan
adzan syahdu perpisahan telah berbunyi, bersujud syukurlah di atas beberan sajadah.
Bersyukurlah telah kita tunaikan sekian puluh hari kewajiban dan tanggungjawab
kita sebagai orang beragama. Berdoalah kita agar kiranya Allah mau menilai
puasa itu. Mau memberikan ganjaran sempurna. Sebabnya zaman telah bertingkat. Tantangan
kita makin berlipat, kesempatan bermaksiat terbuka tanpa pintu. Berdoa pulalah
kita agar dipertemukan dengan ramadhan tahun muka. Sebagaimana Allah mendengar
doa kita sebelas bulan yang lalu, saat kita mengangkat tangan ke langit,
merintih di atas sajadah agar kiranya Allah mempertemukan kita dengan ramadhan
tahun ini, begitu pulalah kita akhirkan doa kita di tahun ini. Agar
dipertemukan dengan ramadhan tahun muka.
Tuan-Tuan, doa orang
puasa makbul adanya. Maka berdoalah di hari terakhir ini, dengan cuapan pinta
yang paling jernih, jujur, bersih. Dari dasar qalbu yang paling bawah. Dengan patah-patah
suara yang lirih dan parau. Dengan kabut-kabut khauf dan asap-asap raja’.
Bahwa tiada lain hajat diri selain agar Tuhan tancapkan pasak cinta dalam dada
pada agama-Mu dalam-dalam. Jangan Engkau palingkan kami dari cinta itu
selamanya. Kokohkan kaki-kaki kami untuk senantiasa berdiri di jalan kebenaran,
membela kebenaran, menantang kezhaliman. Jangan Kau lunglaikan tungkai kami,
hingga ia muda lari tunggang langgang ke belakang. Kabur lintang pukang sebagai
pengecut. Atau berpindah sisi ke barisan musuh sebagai pengkhianat agama. Buka
mulut-mulut kami untuk lantang bersuara atas nama-Mu, menyerukan
hukum-hukum-Mu. Hingga lidah kelu dan bibir biru membeku. Walau darah membercak
dan luka menganga. Biarkan kami tetap berkoa atas kecintaan pada agama-Mu.
Jangan biarkan kami bicara di atas ladang-ladang kebathilan. Menipu umat.
Menyeru ke dalam kepalsuan. Kepalkan tangan-tangan kami. Kuatkan kepalan itu
dengan kekuatan-Mu. Agar ia kuat meninju jauh wajah musuh-musuh-Mu, membuat
mereka terpelanting ke belakang. Membuat mereka terbirit-birit sebagai
pengecut.
Jujurlah, Tuan-Tuan
sekalian. Saya pun sama seperti Anda semua. Puasa kita banyak silap celanya.
Tak sempurna bila ditimbang kadar. Maka tepuklah dada dan berbenak sendiri.
Berapa banyak dari kita yang telah kepala empat umurnya. Kepala lima atau
kepala enam. Taruhlah kini ia berumur enam puluh tahun. Baligh di usia 15
tahun. Empat puluh lima tahun ia bertualang mencicip dunia. Empat puluh lima
tahun pula ia bersua ramdhan. Kalaulah selama empat puluh lima tahun itu ia
belum jua diampunkan silap salahnya. Kapan lagikah Allah memputihkan
catatannya?
“Belum siap aku, wahai
Tuhan. Kau lepas daku melanglang. 11 bulan ia berpanjang. Alangkah sedikitnya
perbekalan. Sementara nian jauh perjalanan.”
Akankah kita menemukan
ramadhan di tahun muka? Akankan kita masih di sini, saat ramadhan kembali ke
dunia? Sudahkah ramadhan yang kita lalui memputihkan catatan dosa itu sendiri? Menangislah,
wahai diri yang Allah akhirkan jatahnya. Hingga fajar berbalik di belakang
mega.
Beberlah sajadah.
Merataplah di atas sana.
Ditulis
di: Bumi Allah
29
Ramadhan 1439
Komentar
Posting Komentar