[MONARKI KONSTITUSIONAL: JAWABAN ATAS GONJANG-GANJING POLITIK NEGERI]

Mayoritas ulama dalam kitab Fiqih Siyasah (Politik) Klasik mensyaratkan beberapa hal supaya seseorang dapat diangkat menjadi Khalifah: berpengetahuan, adil, berkompeten, sehat jasmani dan rohani, dan yang terakhir ... BERASAL DARI BANGSA ARAB SUKU QURAISY.
.
Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun mencantumkan alasan utama kenapa "keturunan quraisy" diputuskan menjadi salah satu syarat menjadi Khalifah: suku quraisy adalah suku paling terhormat dan paling dihormati di kalangan bangsa Arab. Apabila kekuasaan dipegang di tangan suku quraisy, dapat dipastikan seluruh bangsa Arab tunduk patuh kepada mereka sehingga stabilitas masyarakat dapat lebih terjaga dan gonjang-ganjing politik dapat diatasi.
.
Masalahnya, dalam model negara nation-state di era modern, syarat terakhir ini amat sangat sulit diterapkan dalam kriteria pemimpin tertinggi satu negara karena TIDAK MUNGKIN menempatkan orang quraisy di setiap negara muslim untuk jadi pemimpin. Bisa jadi gesekan terbuka lebar dan kecemburuan sosial akan membakar negara karena superioritas orang quraisy dibanding anak negeri sendiri.
.
Maka, dalam perpolitikan modern, kita dapat menggeser syarat "orang quraisy" yang disinyalir kuat dapat membawa ketenteraman sosial karena dihormati dan dipatuh menjadi "orang yang dipandang mulia dan paling terhormat oleh seluruh rakyat negara." Itulah "ROYAL FAMILY": Keluarga Kerajaan.
.
Kerajaan, dimanapun di belahan dunia modern hari ini, dipandang sebagai sesuatu yang "beyond imagination". Mereka seolah datang dari dunia dongeng, dipandang sempurna dan diidolakan semua orang: istana-istana besar nan megah, para pangeran tampan dan putri jelita, mahkota bertatah berlian, jubah kebesaran dan alat-alat kerajaan dari emas dan perak, belum lagi kereta kuda dilapis emas, mobil-mobil mewah, dan perarakan parade sepanjang tiga kilometer dengan seluruh panji-panjinya.
.
Coba lihat rakyat Inggris yang modern dan demokratis itu ketika keluarga kerajaan muncul di balkon Buckingham Palace, mereka memandang keluarga kerajaan itu penuh takjub, memuja mereka, berteriak-teriak seraya memuja anggota kerajaan yang mereka anggap tampan atau cantik: Pangeran William dan ibunya, Putri Diana, contohnya.

.
Ketika negara dilanda krisis, bencana, perpecahan politik, resesi ekonomi atau bahkan perang, kerajaan muncul sebagai "penenang masyarakat". Mereka menghapus kekhawatiran dari rakyat biasa, mengamankan mereka dari rasa takut, membuat mereka semua berpikir "kami percaya kami akan baik-baik saja selama anda pun demikian." Sebaliknya, kerajaan juga bisa menjadi penggugah masyarakat yang efektif: biasanya rakyat biasa akan lebih terharu dan tergugah apabila pesan belasungkawa dan duka datang dari kerajaan yang mereka anggap agung dan tinggi.
.
Jadi, menimbang manfaat dan mudharatnya, menurut hemat pendapat saya, akan sangat bijak apabila negeri-negeri muslim memakai model pemerintahan "monarki konstitusional". Kepala pemerintahan boleh saja datang dari siapa saja dan dipilih melalui pemilu--sebuah alasan untuk mencegah pemerintahan absolut kerajaan dan memberikan jalan bagi siapapun yang berkompetensi untuk memerintah. Namun Kepala Negara tetap berada di tangan Raja, Sultan, Amir, atau apapun namanya. Perdana Menteri akan dipilih oleh rakyat, mengurusi pemerintahan, menjalankan pemerintahan atas nama Raja, mengatasi krisis, kritik, bertempur dalam dunia politik "yang kotor". Tapi raja dan keluarganya akan tetap "suci dan agung" di mata masyarakat.
.
Kita sudah melihat krisis yang datang silih berganti di negeri-negeri monarki konstitusional. Perdana Menteri dilengserkan, pemilu dilakukan berulang dan Kepala Pemerintahan datang dan pergi. Perdana Menteri terlibat skandal, keuangan memburuk, pengangguran meningkat. Tapi kerajaan tetap berdiri dan dipandang baik oleh mayoritas rakyat negara. Negara tetangga kita, Malaysia, juga begitu. Krisis politik yang dimulai oleh PM Najib atas skandal korupsinya tahun 2015, menyusul ketidakstabilan politik hingga pemilihan PM Anwar Ibrahim dua tahun lalu membuat Malaysia "sedikit ribut". Apalagi ringgit pelan-pelan jatuh di hadapan dollar Amerika.


.
Tapi, kecintaan rakyat biasa kepada raja-raja mereka, apalagi Yang Dipertuan Agong, tetap melimpah ruah. Yang Dipertuan Agong dihormati dan dipuja. Apalagi jika memiliki keluarga diraja yang tampan dan cantik jelita: Sultan Pahang punya sejumlah pangeran jomblo yang digandrungi gadis-gadis dan sejumlah putri jomblo yang digemari anak lajang Malaysia. Belum lagi negeri lain macam Johor, Trengganu, Negeri Sembilan dan pangeran-pangeran bocil yang imut-imut dari Perak dan Kelantan.



.
Walhasil, menurut saya lagi, fiqih siyasah kontemporer untuk menentukan bentuk negara dapat dipikir ulang menjadi Monarki Konstitusional. Hari ini, misalnya, negeri kita menghadapi situasi politik yang kurang stabil hingga rakyat "panas-panas ribut". Rakyat seolah hilang induk dan pengayom di tengah ketidakpastian pemimpin tertinggi negara dan sifatnya yang sementara (5 tahun sekali kemungkinan diganti). Alangkah baiknya bila peran kerajaan kembali dilembagakan oleh pemerintah sehingga kerajaan dapat hadir sebagai "penenang, penghibur, dan penghapus ketakutan" di tengah-tengah masyarakat.
.
Tinggal modelnya saja yang nanti ditentukan. Mau dipilih langsung dari yang masih eksis dan berkuasa: Yogyakarta, atau dibuat model federasi macam Malaysia dari kerajaan-kerajaan yang masih eksis namun tidak berkuasa: Deli, Palembang, Pontianak, Surakarta, kesultan lain di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

.
Tabik
Yoga A.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Titik Nol

PROPAGANDA JEPANG

KHAN AGUNG MONGOL (DINASTI YUAN)