Posisi Turki Utsmani di dunia internasional pada abad ke-16-19 dan kedudukannya terhadap kerajaan-kerajaan Islam lain di seluruh dunia
Pendahuluan
Daulah Utsmaniyah, atau yang lebih populer
disebut sebagai Kesultanan Turki Utsmani, atau Khilafah Ustmaniyah, atau
Ottoman dalam literatur barat, pernah berdiri sebagai pengayom umat muslim
internasional. Ketika Sultan Salim I mengalahkan Khalifah Al-Mutawakkil di
Kairo, gelar Khalifah diserahkan kepada wangsa Ustmani, hingga para penguasa
selanjutnya memiliki dualisme kekuasaan: Sultan, yang digunakan sebagai
penguasa kerajaan Turki. Dan Khalifah, sebagai pemimpin dan pelindung umat
muslim di seluruh dunia.
Selama
enam ratus tahun sejak kebangkitan dinasti ini di Asia kecil, para utusan dari
berbagai dunia—baik dalam bentuk Duta Besar penyerahan upeti atau utusan
permintaan legalitas kesultanan di wilayah kecil—berseliweran sepanjang jalur
lintas dunia internasional, masuk ke Istana Topkapi untuk berhadapan dengan
Sultan. Permintaan akan perlindungan dan jaminan keselamatan kerap dilayangkan
ke kediaman Sultan di seraglio. Otoritas
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dunia Islam internasional dimanfaatkan
dengan baik oleh bangsa Turki maupun oleh bangsa-bangsa lain yang berlindung di
bawah panji-panji mereka. Nusantara, misalnya, mengambil peran hubungan harmoni
selama berabad-abad dengan kesultanan super
state ini, dibuktikan dengan dikirimnya permintaan legalitas dari Mataram
dan permohonan perlindungan dari Aceh.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
dengan menganalisis dari beberapa literatur, baik yang bersifat klasik (sebab
diterbitkan pada masa kolonial seperti memoar dan catatan perjalanan para
pegawai pemerintahan kolonial) maupun literasi yang diterbitkan baru-baru ini
dari penulis cerdas dan bahan segar untuk ditelaah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
signifikan antara Daulah Utsmaniyah yang dianggap sebagai pengayom dan Amirul
Mukminin dengan kerajaan-kerajaan Islam yang berada di seluruh dunia yang
tunduk setia di bawah kekuasaan mereka dalam waktu yang berkontinu.
Hasil Penelitian
Sultan Selim menghasilkan kemenangan atas dua
ekspedisinya yang utama di bangsa Safawid (ash-Shafawiyah) di Persia dan Mamluk
di Mesir. Ekspedisi yang kedua mencapai puncaknya saat ia menaklukkan Kairo
pada 25 Januari 1517. Legenda mengatakan bahwa pada saat ini, sang Khalifah
Mutawakkil memindahkan hak kekhalifahan, kepemimpinan Islam, kepada Selim dan
penerusnya dari garis keturunan Usmani. Legenda ini dibangkitkan untuk
menyatakan hak Sultan-Sultan Usmani atas gelar Khalifah yang mereka pertahankan
hingga akhir kekaisaran[1].
Sumber-sumber literatur barat dan timur menuliskan gelar-gelar Sultan setelah
Selim hingga akhir kesultanan sebagai “Malikul
Barrain wa Khaqanul Bahrain wa Khadimul Haramain, Qaishar Ar- rumi, Khalifatullah
wa Zhilluhu fil Ardhi Padshah Al-Ghazi.[2]”
Atau yang diterjemahkan sebagai Raja dua benua, Khan dua samudra, Pelayan dua
tanah suci, Kaisar Rum, Wakil Allah dan bayang-bayangnya di muka bumi, Raja
orang-orang beriman.
Hal ini membuat Turki Ustmani, yang sejak
kemenangannya atas Istanbul dikenal jauh lebih populer di dunia barat sebagai
“perampok” barbar atas Konstantinopel, dan dikenal jauh lebih populer di dunia
Islam sebagai Imam dan Khalifah sejak menaklukkan Mesir dan dua kota suci dari
wangsa Mamluk, menjadi tujuan dunia muslim internasional. Berbagai utusan
kerajaan datang meminta legalitas dan permohonan bantuan ke Istanbul, sebagai
selayaknya Ghazi yang harus melindungi dan mengayomi. Seperti yang dilakukan
Aceh Darussalam pada pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahhar yang
meminta bantuan kepada pemerintah Turki.
“In the 16th century, the Aceh sultanate
under the rule of Sultan Alauddin Riayat Shah al-Kahhar requested for help from
the Ottoman State to confront the Portuguese
in Malacca. The request became the
beginning point for Aceh relation with the Ottoman State as an Islamic superpower then.”
“Successor to Sultan Sulayman, namely Sultan Salim II (1566-1574) was
optimistic in giving help to Aceh and
continuing his father’s efforts. A fleet consisting of 15 long ships, two big
ships, imperial cannon experts, soldiers from Egypt and weaponry equipment to
attack the enemy was prepared. The fleet was to be headed by Admiral
Kurtoglu Hezeir Reis. During the preparation, a rebellion broke out in Yemen.[3]”
Kalimat
bercetak tebal di atas agaknya menjadi petunjuk tentang adanya hubungan antara
kerajaan Islam di timur jauh dengan superpower
di Selat Bosporus yang memisahkan Asia-Eropa, serta menjadi hubungan
harmoni timbal balik antara dua dinasti yang tetap bertahan hingga akhirnya,
walau perjalanan pulang balik harus dihabiskan dengan melewati ganas dan
hampanya Laut Arab, lamanya masa yang tergerus habis di lautan mahaluas.
I’tikad
baik ini kemudian ditindaklanjuti sebagai pertukaran budaya yang mendarah
daging khususnya bagi orang-orang Aceh, dimana model penutup kepala para pria
di Banda dan daerah sekitarnya lebih mirip fez
Turki daripada songkok tinggi orang Melayu, serta pembuatan bendera dengan
latar merah dihiasi bulan sabit dan bintang—ciri yang sama seperti Turki. Hanya
dibedakan dengan lambang pedang melintang di bagian bawahnya. [4]Bagi
Turki, kopi-kopi Afrika Utara digantikan dengan kopi-kopi Sultan dari kebun-kebun
Takengon di perbukitan Gayo di ujung utara Sumatera.
Selain
itu, dalam Hikayat Aceh termuat
cerita panjang lebar tentang penyambutan suatu perutusan Turki oleh Iskandar
Muda. Perutusan yang dipimpin oleh dua celebi
yang namanya disebut, datang mencari kamper dan nafta, yang diperlukan
untuk kesehatan “Sultan Muhammad”[5].
Menurut teks itu waktu para utusan tiba di Aceh, Sultan Iskandar sedang pergi
hendak menaklukkan Deli; perincian ini memungkinkan kita menetapkan peristiwa
ini pada tahun 1612. Tetapi ada kesulitan besar mengenai nama Sultan Turki yang
dikirakan telah mengirim utusan itu. Teks menyebutnya seorang “Sultan Muhammad”
yang mungkin sama dengan Muhamamd III, tetapi wafatnya pada tahun 1603 dan yang
menggantikannya ialah Ahmed I (wafat tahun 1617)[6].
Di
tanah-tanah Melayu seperti Sumatera Timur, Semenanjung Malaysia dan Singapura,
bagian utara Kalimantan meliputi Malaysia dan Brunei Darussalam, Sultan-Sultan
Melayu telah lama menjalin komunikasi dengan Turki Utsmani yang populer dengan sebutan
“Pemimpin Ummat”. Sultan-Sultan Melayu acap kali melakukan kunjungan ke
Istanbul untuk melakukan penghormatan resmi, bahkan ketika tanah Melayu telah
menjadi bagian dari persemakmuran Inggris, sebagaimana Sultan Johor, Abu Bakar
mengadakan kunjungan ke Istanbul selama pemerintahan Sultan Abdul Aziz.
“Pada
pertengahan tahun 1860an, Sultan Abu Bakar dalam rangka lawatannya ke Eropah
telah berkesempatan melawat Khalifah Othmaniyyah di Istanbul. Sebagai tanda ke
atas hubungan baik kedua belah pihak, baginda kemudiannya diiktiraf sebagai
Sultan Johor oleh Kerajaan Othmaniyyah Turki mulai 13.02.1886. Baginda memakai
gelaran sultan dengan gelaran Sultan Abu Bakar Alkhalil Ibrahim Shah. Baginda
juga telah dikurniakan dua orang wanita iaitu Khadijah Hanum untuk bernikah
dengan Sultan Abu Bakar dan Ruqayyah Hanum untuk bernikah dengan Engku Majid
bin Temenggung Ibrahim iaitu adinda Sultan Abu Bakar. Mereka dari wanita-wanita
kesayangan ibu sultan dan isteri Sultan. Tugasnya adalah sebagai pengelola di
istana Khilafah. Mereka dari keturunan Kaukasia di utara Turki, kini dipanggil
Georgia, Rusia[7].”
Kalau
Aceh sejak masa Sultan Alaudin Riayat Syah telah mengirim Husain Affandi pada
Sultan Sulaiman Al-Qanuni menghadapi Portugis yang di-back up Daulah Shafawiyah di Iran; Susuhunan Agung Hanyakrakusuma dari
Mataram memandang perlu melakukan langkah yang lebih jauh untuk mengokohkan
kerajaannya sebagai wakil sah kuasa dunia Islam di Nusantara.
Baiat
Mataram sebagai kuasa bawahan sekaligus wakil resmi Daulah ‘Utsmaniyah di
Nusantara diterima. Maka bagi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma dihadiahkanlah
gelar “Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana Jawi Matarami”, disertai tarbusy untuk
mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam.
Kuatnya
orientasi ke Turki di masa itu bahkan ditandai dengan digantinya bendera
GulaKlapa yang telah ada sejak masa Majapahit, Demak, dan Pajang dengan bendera
berwarna dasar merah dengan tepi obar-abir putih, yang di tengahnya bergambar
bulan sabit putih sebagaimana bendera Usmani, hanya ditambahkan keris bersilang
sebagai penanda Nusantara[8].
Nah,
lebih menarik lagi, bila kita melihat kejadian seratus tiga puluh tahun setelah
mangkatnya Sultan Agung, Pangeran Diponegoro menjalin “turki orientit” yang
lebih kental dari para pendahulunya. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat
Alibasah. Mereka membawahi beberapa Basah. Dan komandan terendahnya disebut
Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja pengucapan Jawa untuk Turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah.
Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, Harkiya, dan Borjomu’ah. Nah,
yang ini persis dengan susunah militer Janissarie, pasukan elit Sultan Turki[9].
Maluku,
yang dikuasi oleh Kesultanan Ternate Tidore, disandingkan dengan kekuatan Goa
Talo, menjalin hubungan dengan Turki Ustmani sebagai mitra perdagangan pala dan
pengetahuan akan srategi perang bangsa “Asia Tenggara”. Wikipedia mengutip
dengan amat baik dari tulisan Patrick Witton dengan judul Indonesia dengan redaksi:
“As the Portuguese battles in the Indian Ocean against Muslim Powers raged on, Ternate became a site of
interest especially for the Ottomans, who had gained much
information about Maritime Southeast Asia from the Sultanate of Aceh, and in fact Kurtoğlu Hızır Reis, the Ottoman Admiral, intended to reach both Java, Borneo and Ternate but was engaged in pitched battle and was
outnumbered against the Portuguese Fleet in Sumatra”[10].
Di
anak benua India, ceritanya sedikit klise, sebab Sultan-Sultan Turki-lah yang
mengirimkan utusan mereka ke Mughal India di Lahore untuk meminta sumpah setia
kesultanan ini di bawah panji Turki Ustmani. Sebab Sultan Turki tahu bahwa
orang-orang ini gemar gelisah, sukar penurut dikarenakan merasa bahwa
kesultanan dan tanah merekalah yang paling terberkahi di seluruh seantro muka
bumi dengan rempah dan batu mulia. Oleh karenanya, Sultan Turki mengirimkan
utusan kepada Sultan Humayun, dan baru dibalas ketika Sultan Akbar mengambil
takhta di Delhi.
“When Akbar found his throne insecure like his father Humayun, he also
started by going further in positive friendliness towards the Ottomans. He had
written a letter "to Sulaiman the Magnificent m 1556 and sent it through
Sidi Ali Reis in which he addressed the
Ottoman Sultan as the Khalifa on the earth …[11]”
Hal inilah yang kemudian membuat
Sultan-Sultan besar sebakda Akbar—Jahangir, Shah Jahan, dan Aurangzeb—serta dilanjutkan oleh dinasti besar Nizam
Hayderabad menjalin hubungan harmoni dengan Kesultanan Ustmaniyah, menampik
kerja sama dengan Daulah Safawiyah sebab kerajaan itu, sebagaimana kita tahu,
dibangun atas dasar kekuatan-kekuatan orang-orang qizilbash dan Syiah Rafidah. Walau kemudian hal ini lebih ditunjang
oleh kenyataan bahwa sepak terjang hubungan Mughal India-Safawi Persia terbukti
tak pernah berhasil sebab dihalangi oleh persoalan aneksasi dan perebutan wilayah
Qandahar di barat laut kesultanan.
Memang tidaklah berlebihan, ketika kita
memandang bahwa sebuah superstate Islam
sangat bernilai dalam menaungi kehidupan kaum muslimin di seluruh dunia.
Meski—sesuai hadits Rasulullah—saya kurang sreg menyebut Turki Utsmani sebagai
khilafah, tapi peran yang diembannya begitu indah, dan terasa di sini, di
Nusantara yang puluhan ribu kilometer jaraknya dari seraglio Sultan di istana Topkapi yang dihilirmudiki 5000 pelayan[12].
Maka,
selama lima abad lamanya semenjak Sultan Utsmani mengambil hak dan prestise
sebagai pemimpin umat Islam seluruh dunia, Turki Utsmani berperan sebagai central point islamic state and religion. sebagaimana
Paus adalah Pemimpin Keagamaan Kristen internasional, maka umat Islam memiliki
Khalifah sebagai Pemimpin Keagamaan Islam internasional. Paparan di atas telah
membuktikan bahwa seluruh wilayah, baik timur jauh atau daerah sekitaran Asia
selatan, meliputi tanah Hindustant di sekitaran sungai Yamuna hingga
Hayderabad, pegunungan Himalaya dan Asia Tengah, semenanjung Melayu,
pelabuhan-pelabuhan utara pantai Jawa, pos-pos perdagangan di sepanjang
kepulauan Maluku dan Sulawesi, tunduk di bawah satu kekuatan dan panji yang
sama, menciptakan ukhuwah internasional
dalam Daulah Islamiyah.
“… Ottomans were now the greatest and most powerful state of Muslim
world. … In return, Ottomans had a provision stipulated under Treaty of Küçük
Kaynarca in 1774, whereupon the influence of caliph on Muslims, who were no
more Ottoman citizens, was officially established. Thanks to the provision,
Christian world accepted Pope as religious leader of Christian world and
Ottoman caliph as spiritual leader of all Muslims regardless of nationality or
citizenship.[13]”
Kesimpulan
Pada mulanya, ketika Turki Utsmani mengambilalih kepemimpinan
umat Islam pada masa Sultan Selim I dengan merebutnya dari Khalifah Mutawakkil
di Kairo, posisi bangsa Turki mendapat penghormatan di kalangan dunia Muslim
Internasional sebagai pengayom dan pelindung ummat. Berbagai Duta Besar dan
utusan permintaan legalitas kesultanan berduyun-duyun membanjiri Istanbul,
menjadi mitra setia selama berabad-abad—seperti yang terjadi di India, tanah
Melayu, Aceh, dan Jawa. Agaknya, memang, posisi yang diemban bangsa Turki pada
masa itu, zaman dimana informasi dan teknologi telah berkembang dan memasuki
era kemodernan yang memungkinkan transfer informasi dan budaya menjadi jauh lebih cepat, jauh lebih
populer dan usefull daripada
kerajaan-kerajaan lain sebelumnya yang hanya menyandang status sebagai Khalifah
dunia muslim, tapi tak pernah menunjukkan sumbangsi serta bantuan secara nyata.
Referensi:
Arnold,T.
W. The Caliphate. Oxford, 1924, pp.
146-47, PDF version
Borham Jalil Abd, Pengaruh Khilafah Othmaniyyah Turki dalam
Pentadbiran Kerajaan Johor bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka di Asia Tenggara, PDF
Version.
Ermy Azziatty Rozali. 2014. “Aceh-Ottoman Relation in Bustan Al Salatin”.,
Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 3 No 29.
Fillah A. Salim. 2007. Saksikan bahwa Aku seorang Muslim., Yogyakarta: Pro U Media.
Fillah A. Salim. 2015. Rihlah Dakwah Salim A. Fillah: Melawat Berburu Hikmat., Yogyakarta: Pro U Media.
Freely John. 2012 Istanbul: Kota Kekaisaran., Jakarta: Pustaka Alvabet.
https://en.wikipedia.org/wiki/Suleiman_the_Magnificent
https://id.wikipedia.org/wiki/Ternate
Lombard Denys. 2014. Le Sultanan Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636)., Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Pay Salih. 2015. “The Journey of Caliphate from
632-1924” International Journal of Business and Social Science, Vol. 6 No
4.
[1]
Freely John,Istanbul: Kota Kekaisaran.,
Jakarta: Pustaka Alvabet., 2012., Hlm. 241
[2]
https://en.wikipedia.org/wiki/Suleiman_the_Magnificent. Diakses pada tanggal 11
Januari 2016 pukul 09.08 WIB
[3]Rozali Azziatty Ermy, “Aceh-Ottoman Relation in Bustan Al Salatin”.,
Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 3 No 29, Desember 2014. Hlm. 93
dan 96
[4]Fillah A. Salim, Rihlah Dakwah Salim A. Fillah: Melawat
Berburu Hikmat., Yogyakarta: Pro U
Media, 2015. Hlm. 186
[5] Lombard Denys, Le Sultanan Atjeh au temps d’Iskandar Muda
(1607-1636)., Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2014, Hlm. 169-170
[6] Ibid., Hlm. 290
[7] Abd
Jalil Borham, Pengaruh Khilafah
Othmaniyyah Turki dalam Pentadbiran
Kerajaan Johor bagi Memartabatkan Sebuah Negara
Islam Merdeka di Asia Tenggara, PDF Version., Hlm. 2
[8] Fillah A. Salim, Rihlah Dakwah Salim … Ibid., Hlm. 55-56
[9] Fillah A. Salim, Saksikan bahwa Aku seorang Muslim.,
Yogyakarta: Pro U Media, 2007. Hlm. 418
[10]https://id.wikipedia.org/wiki/Ternate.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2017. Pukul 13.20 WIB
[11] T. W.
Arnold, The Caliphate. Oxford, 1924,
pp. 146-47, PDF version
[12]Fillah A. Salim., Saksikan bahwa
aku … Ibid., Hlm. 419
[13] Pay Salih, “The Journey of Caliphate from
632-1924” International Journal of Business and Social Science, Vol. 6 No
4, April 2015. Hlm. 113
Komentar
Posting Komentar