PANDANGAN SAYA TERHADAP IBUNDA SAYYIDAH AISYAH BINTI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
Belakang
hari, orang ramai-ramai bicara soal ibunda kita yang mulia, Sayyidah Aisyah ra.
Dibuatkan lagu untuk mengenangnya, diisi baris lirik soal asmaranya dengan
baginda Nabi. Orang-orang pun, terutama kaum perempuan, beramai-ramai menggandrungi
lagunya. Lebih-lebih kemudian, bermimpi sambil senyam-senyum kalau-kalau mereka
bisa berlakon macam ibunda Aisyah. Berkejar-kejar, makan dan minum dengan
mesra, tempel pipi dengan pipi, tempat sandar kepala di pahanya. Namun,
benarkah ‘hanya’ demikian?
Mengingat
ibunda Aisyah sebatas demikian, dan menempatkannya semata-mata sebagai
perlambangan soal cinta, asmara dan hubungan mesra antara suami istri adalah
usaha mempersempit jati diri beliau yang mulia. Seolah-olah tak ada yang patut
diingat dan dicontoh darinya kecuali lari-lari dan menempel pipi.
Ibunda
Aisyah adalah role mode perempuan
maju di abad ke-7, zaman dimana perempuan berada di bagian belakang rumah dan
mengurus anak serta asap dapurnya. Ia menolak dikurung dan dilarang bicara.
Tatkala usia belia, ibunda Aisyah bersama Ummu Aiman menjejak kaki ke perang
Uhud sebagai bagian pasokan logistik dan makanan. Ketika persediaan air habis, beliau
turun bukit bersama Ummu Aiman, mengambil air, memanggulnya sendiri dan naik
lagi.
Tatkala
perkabaran dusta soal dirinya merebak ke seluruh seantro Madinah-Makkah, ayat
Al-Qur’an turun untuk membelanya. Bukan sembarang pembela yang membersihkan
namanya itu. Di saat baginda Nabi sendiri pun punya banyak pertimbangan untuk
membela istrinya itu—hatta sampai disarankan kalau susah-susah dicerai saja,
Allah-lah yang datang untuk menjamin kesuciannya. Dan dalam banyak momen, sebab
ibunda Aisyahlah turun ayat-ayat kemudahan ibadah—macam tayamum.
Benar
adanya bahwa beliau adalah istri baginda Nabi yang paling muda, paling jelita,
perawan pula tatkala dinikahi. Dan diantara madu-madunya, ia menjadi perempuan Nabi
yang paling disayang. Dan oleh sebab faktor-faktor demikianlah, beliau diingat
sebagai istri yang paling cemburu, paling terbuka lidahnya—yang paling
terkenal, beliau mengejek Allah yarham ibunda Sayyidah Khadijah sebagai nenek
ompong dan dalam satu kali pertengkaran rumah tangga dengan Nabi mengejek baginda
sebagai tukang bohong. Beliau pula yang diingat sebagai istri paling jahil—sampai-sampai
salah satu madunya dipulangkan ke keluarganya, sampai-sampai Nabi mengharamkan
madu buat sementara,tak berkenan kalah, ingin selalu dinomorsatukan, bahkan
hingga mendapat teguran dari istri baginda yang lain macam Ummu Salamah.
Tatkala
Baginda meninggal di pangkuannya, Allah membukakan salah satu hikmah mengapa
beliau yang mulia “diperintahkan” menikahi ibunda Aisyah yang muda. Ingatannya
yang tajam serta kemampuannya yang cerdas menjadikan beliau diingat sebagai periwayat
hadist terbanyak keempat. Hanya dikalahkan oleh Abu Hurairah, Abdullah bin Umar
dan Anas bin Malik. Setidaknya, ada 2.210 hadist yang beliau riwayatkan.
Apalagi soal tata kehidupan beliau bersama baginda Nabi. Ibunda Aisyah menjadi
rujukan bagaimana Nabi memperlakukan keluarganya. Beliau membuka kelas di
rumahnya, mempunyai banyak murid yang duduk di depan hijab—tabir—untuk mencatat semua perkabaran Nabi yang datang
darinya. Ibunda Aisyah menjadi model tutor perempuan pertama dalam sejarah islam.
Tatkala
Abu Bakar menjadi Khalifah, istri-istri Nabi punya kedudukan sakral dan tinggi
di tengah masyarakat Islam. Mereka adalah janda Nabi. Ibu-ibu orang-orang
beriman. Tapi, ibunda Aisyah punya kedudukan lain. Ayahnya adalah Khalifah. Ia adalah
anak perempuan Khalifah sekaligus janda kesayangan Nabi. Sumber rujukan ilmu
keislaman pula. Yang terpenting, jasad Nabi dimakamkan di kamarnya. Begitu pula
jasad ayahnya. Tatkala Umar menjadi Khalifah, pamor ibunda Aisyah belum lagi
turun. Ketika Umar mencapai jam-jam terakhirnya setelah ditikam, ia perintahkan
anaknya buat meminta izin pada putri Abu Bakar itu supaya kelak jasadnya
dikuburkan di sebelah ayah dan suaminya. Di rumah Aisyah. Tapi Umar bukan
memohon sebagai Amirul Mukminin. Ia memohon sebagai Umar bin Khattab.
Barulah,
pada penghujung kematian Usman bin Affan dan di awal pemerintahan Ali bin Abu
Thalib, ibunda Aisyah mencapai puncak pamor tertingginya. Ketika semua istri
Nabi memilih untuk berdiam di dalam rumah mereka, duduk di belakang tabir,
sholat, berpuasa, dan bersedekah, ibunda Aisyah memilih jalan yang tak pernah
dipikirkan semua orang di zaman itu—bahkan mungkin kini. Memimpin pasukan berperang.
Lawannya, menantunya sendiri. Suami putri tirinya. Ali bin Abu Thalib. Walau
besar kemungkinan bahwa ibunda Aisyah termakan kompor dari sepupunya sendiri
dan karibnya, Talhah dan Zubair, kenyataan bahwa ibunda Aisyah duduk di atas
unta dan berdiri di garis tempur sebagai pemimpin tertinggi itu benar adanya.
Tatkala perempuan-perempuan Arab zaman itu berdiri di belakang—baik sebagai
tukang pasok makanan dan logistik atau penyemangat dengan rebana dan syair,
ibunda Aisyah memilih sebagai panglima perang pasukan tempur.
Pada
akhirnya, ibunda Aisyah bukan cuma sekadar model perlambangan kemesraan dan
tingginya asmara rumah tangga. Beliau patut dihargai lebih luas dari itu.
Hidupnya tidak sesederhana lagu-lagu dan syair. Hidupnya bukan hanya diisi
minum dari bekas mulut yang sama, rebut-rebutan gayung untuk mandi, lomba lari,
atau adegan romantis tatkala kekasih meninggal di pangkuannya. Ia menjadi
contoh kemajuan dan kemodrenan. Pikirannya dinamis. Tapi agamanya tetap tak
ditinggalkan. Dari beliaulah muncul pijakan bahwa perempuan tak berdosa bila
bekerja atau dinilai tak terhormat bila keluar rumah. Harusnya,
perempuan-perempuan pecinta ibunda
Aisyah pula mengambil benang ini. Kalau cuma mengambil bagian yang menyenangkan
dan receh saja, itu namanya pengkerdilan. Tirulah yang lainnya. Ambil
seluruhnya. Berpikirlah maju. Tolaklah keterkungkungan. Bicaralah.
Berkontribusilah untuk kemanusiaan. Picik sekali kalau ibunda Aisyah cuma
dijadikan pijakan buat mengkhayal-khayal di atas tempat tidur sambil berfantasi
soal adegan romantis memerahkan muka antara kita dan orang yang kita sayangi.
Moga-moga
Allah ampunkan saya bila silap keliru.
Wassalam
Yoga A.
Komentar
Posting Komentar