PENULIS MUSLIM PEREMPUAN, BUDAYA, DAN AGAMA
Sudah dua tahun sejak pertama
kali saya membaca buku-buku penulis muslim perempuan dunia. Waktu itu di Big
Bad Wolf pertama kali saya mendapatkan buku Azar Nafisi: Reading Lolita in
Tehran dan Shirin Ebadi: Iran Awakening. Sejak saat itulah perkenalan saya
dengan penulis muslim perempuan berlanjut hingga hari ini. Hingga saya
mengagumi mereka semua. Mengagumi kekuatan mereka.
Oh, tentu saja saya tidak sepakat
dengan banyak pemikiran mereka. Tapi, membaca karya perempuan-perempuan ini
membuat kita berjalan di tengah masyarakat dan mengendus semua aroma masalah
yang terjadi. Khususnya soal perlakuan terhadap perempuan. Melalui buku-buku
merekalah saya mengerti bahwa budaya, tafsiran agama yang tidak populer adalah
masalah utama perempuan muslim.
Saya ingin beri contoh. Pada
kasus Fatima Mernissi, perempuan dianggap tercela bila memperoleh pendidikan
umum dan menjadi setara dengan pria dalam soal asah otak. Hidup perempuan
dikurung di sepetak dinding bernama Harem. Tak dibiarkan menjamah dunia luar.
Perannya dinafikan. Batas dunia para perempuan hanyalah sejauh pintu keluar
harem yang dijaga. Di Maroko pada saat itu, presentase paling tinggi pengenyam
buta huruf dinisbatkan pada perempuan. Padahal, agama kita memberikan porsi
yang sama dan seimbang bagi kedua-dua jenis manusia itu untuk berkompetisi di
dalam bidang asah otak.
Di kasus Malala Yousafzai lebih
parah lagi. Taliban, yang telah lebih dahulu mengacak-acak Afghanistan, menutup
sekolah perempuan dengan alasan bahwa “sekolah bagi perempuan itu sangat kebarat-baratan
dan sangat tidak islami.” Banyak sekolah yang dibom, diratakan dengan tanah. Sebagai
ultimatum terakhir, Taliban memberi ancaman pada semua orangtua yang masih
mengizinkan anaknya bersekolah dengan berkata, “sesuatu yang buruk akan terjadi
pada puteri anda.” Dan, benar saja. Malala ditembak tepat di wajahnya dari
jarak tak sampai dua meter di dalam bus saat pulang sekolah.
Azar Nafisi, Shirin Ebadi dan
Marjane Setrapi punya pengalaman serupa di Iran. Saat awal pasca revolusi,
pemerintah Iran menetapkan “jenis pakaian” apa yang boleh dipakai perempuan di
luar rumah mereka. Saat itu, pemerintah Khomeini menetapkan hanya chador dan
tunik lah yang boleh dipakai perempuan di luar rumah. Hal yang serupa dialami
perempuan di Afghanistan dan Saudi. Dimana pemerintahan Taliban hanya
memperbolehkan perempuan keluar rumah dengan memakai burqah dan pemerintahan
Saudi hanya memperbolehkan perempuan keluar dengan abaya. Padahal, sebagaimana
tafsiran ulama yang paling bijak, islam tidak pernah menentukan model pakaian.
Ia hanya menentukan kriteria atau syarat-syarat pakaian bagaimana yang boleh dikenakan
perempuan.
Fiqih ulama klasik masuk dan
diterima oleh masyarakat dahulu sebagai tata cara hidup mereka. Tatkala zaman
bergerak, pendapat fiqih itu menjadi budaya yang meresap di dalam masyarakat.
Saat pendapat kontemporer muncul belakangan, pendapat kontemporer ditentang
sebab berlawanan dengan budaya. Mau berkenalan dengan Nujood Ali? Seorang bocah
Yaman berusia sepuluh tahun yang dinikahkan oleh ayahnya dengan laki-laki
berusia tiga kali lipat usianya. Yang lebih cocok ia panggil ayah daripada
suami. Saat kakaknya protes pada ayah mereka, sang ayah berkata, “Nabi menikahi
Aisyah saat dia berumur enam tahun dan serumah di umur sembilan tahun!” Saat
setahun kemudian Nujood Ali menggugat cerai suaminya, suaminya telah menggauli
bocah itu dan dia praktis menjadi janda. Pasca revolusi, Iran pun demikian.
Usia pernikahan perempuan secara legal diturunkan menjadi sembilan tahun.
Anda barangkali ingin membaca
novel Qaisra Shahraz berjudul Perempuan Suci. Dimana perempuan sulung dalam
keluarga dipaksa tidak menikah saat tak ada ahli waris laki-laki di dalam
keluarganya supaya ia dapat menjaga seluruh warisan leluhurnya di utara
Pakistan. Padahal, tak ada macam itu dalam islam! Setiap orang punya hak untuk
berpasangan dan menikah.
Hampir semua dari
perempuan-perempuan di atas tidak, atau menolak, menggunakan jilbab. Bahkan ada
beberapa dari mereka yang terang-terangan menentang dan melawan jilbab seperti
Huda Sharawi dan Nawal El Sha’dawi. Tapi, bukan pemikiran itu yang saya ambil.
Tentu saja saya menolaknya! Tapi, membaca apa yang mereka rasakan selama hidup
dalam ketakutan dan penuh tantangan menjawab sejumlah pertanyaan kita: apa
sebenarnya masalah yang dihadapi masyarakat muslim? Terutama perempuan. Kenapa
mereka protes? Kenapa mereka merasa terjajah? Kenapa mereka merasa sebagai
separoh makhluk? Mendengarkan mereka yang bermasalah akan membantu kita
menyelesaikan masalah. Selama ini, kita hanya mendengarkan penentangan mereka.
Tak pernah tahu alasannya kenapa. Apa pengalaman pribadi yang mereka rasa? Mari
sini. Coba dengarkan. Lalu putuskan.
Sebagai penutup, saya ingin
katakan pada para pembaca perempuan, apatah lagi untuk anak-anak perempuan saya
kelak. Beranikan dirimu mendobrak tradisi, kungkungan, adat budaya yang
merenggut kebebasan sebagai manusia merdeka. Selama hal itu dilindungi oleh
agama sebagai asasi tertinggi, tidak menubruk apa yang Allah syariatkan, tak
ada yang boleh mencuri hak-hak itu darimu atas nama apapun!
Keterangan foto dari atas kiri ke
kanan:
Fatima Mernissi: Sosiolog, pengajar
di Universitas Mohammad V Maroko. Penulis buku Perempuan-Perempuan Harem (Masa
kecil Fatima di Harem keluarganya)
Huda Sharawi: Feminis Mesir.
Penulis Harem Years (Pelopor penolakan jilbab bagi perempuan Mesir kontemporer)
Azar Nafisi: Penulis Reading
Lolita in Teheran (Pengalaman selama hidup di Iran pra dan pasca revolusi
sebagai dosen bahasa asing)
Shirin Ebadi: Penulis Iran
Awakening (Pengalaman hidup di Iran sebagai hakim dan pengacara)
Nawal el-Sha’dawi: Feminist
Mesir. Penulis Perempuan Titik Nol (Pengkritik masyarakat melalui novel)
Marjane Setrapi: Penulis komik
biografi Persepolis dari Iran
Malala Yousafzai: Pejuang
pendidikan perempuan dan anak-anak dari Pakistan. Penulis biografi I am Malala
Nujood Ali: Bocah janda berusia
sepuluh tahun Yaman. Penulis biografi I am Nujood
Nujeen Mustafa: Gadis cacat Kurdi
Syria yang lari dari negerinya akibat kecamuk perang. Penulis biografi Nujeen.
Qaisra Shahraz: Pejuang hak-hak
perempuan dari Pakistan. Penulis novel Skuel Perempuan Suci dan Perempuan
Terluka (Pengkritik masyarakat melalui novel)
Komentar
Posting Komentar