PERMISIVISME: LIMBAH YANG MUSTI KITA TELAN

Setelah dijajah kita secara fisik oleh bangsa-bangsa barat yang hendak mencuri kekayaan alam serta memperbudak sumber daya manusia, akhirnya mereka pergi juga. Di negeri kita, telah pergi orang-orang barat itu tujuh puluh tiga tahun lampau. Namun, rupanya mereka hilang diri tinggal bau. Jejaknya masih kasat. Cengkeramannya masih mencekik. Tali temalinya masih menggantung leher-leher kita.
            Pada semua negeri-negeri yang pernah dijajah oleh bangsa barat, agaknya nasib kita tak jauh-jauh beda. Kita ditinggalkan secara fisik. Tak kita lihat orang-orang berjalan-jalan di pasar-pasar. Tak lagi kita lihat Meneer Meneer diangkut di tandu-tandu, di kereta kuda, di mobil-mobil mahal. Namun hakikatnya mereka masih ada. Masih di sini. Masih berkata kami kuasa adidaya. Sedang kalian kalah dan terjajah. Apa buktinya?
            Sejak proses globalisasi digencarkan, seluruh dunia telah menelan globalisasi sebagai makanan—entah itu yang harus disantap lahap-lahap atau diwaspadai. Telah kita lihat bahwa globalisasi membuat dunia menjadi “satu pemikiran, satu budaya, satu kiblat.” Yaitu pemikiran barat. Budaya barat. Kiblat barat. Globalisasi telah memaksa seluruh bangsa-bangsa untuk tunduk pada satu jenis peradaban saja. Ialah peradaban barat. Selain daripadanya, berhak dihapus dan dihilangkan. Dan derajat budayanya lebih rendah daripada budaya barat. Kita sebut saja rasisme budaya atau usaha monokotil budaya. Kalau mau lebih keras, kita sebut penjajah budaya.
            Apa akibatnya, Tuan Pembaca? Akibatnya ialah, hilangnya budaya-budaya setempat. Sebab dimusnahkan oleh budaya barat itu sendiri. Bangsa-bangsa yang bukan berbudaya barat menjadi pembenci budayanya sendiri. Dan senantiasa pula ia anggap budayanya sebagai perlambangan kekunoan, keterbelakangan, kejumudan, mundurnya peradaban. Pada akhirnya, hilanglah ia. Matilah budaya itu dalam perang budaya. Dikalahkan oleh budaya barat.
            Kita ambil saja satu contoh kecil. Kalaulah berkumpul seluruh Raja dan Presiden dunia, dengan pakaian apa kita lihat mereka bersama? Setelan jas. Kemeja berdasi. Sepatu kulit mengilap. Pertanyaan saya, budaya siapakah bersetel jas dan berkemeja dasi itu? Apakah budaya orang Jawa? Orang Melayu? Atau jangan-jangan orang Asmat di Papua? Bukan. Tuan-Tuan akan berkata bahwa itu budaya barat.

            Apakah kita menjadi anti dengan barat? Tidak juga. Apakah harus kita buang semua yang berasal dari barat? Tidak! Yang menjadi duduk soal ialah, bahwa bukan itu saja yang dimakan oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Bukan soal setelan jas dan dasi saja. Bukan soal sepatu kulit! Mereka juga mengimpor yang lain daripadanya. Pemikiran, cara beragama, gaya hidup, tatanan sosial, hukum, dan sistem perekonomian. Tidak mengapa mengambil sedikit. Tapi tidak dengan semua.
            Telah kita lihat bahwa peradaban barat itu berusaha, dan telah berhasil, melepaskan dirinya dari ikat-ikat agama. Mereka menjadi maju tanpa terikat agama. Mereka bangun kota-kota besar dan pencapaian dengan membuang agamanya. Perbuatannya bebas nilai. Jangan dikait dengan agama. Agama ya agama saja. Perbuatan siasat itu lain cerita. Jangan Tuan bawa agama kepada sistem perputaran uang. Jangan pula Tuan bawa agama dalam soal hubungan pria-wanita. Tuhan tidak boleh mengatur terlalu jauh hingga ke ranjang orang! Kata mereka. Sementara kita? Bangsa kita ialah bangsa timur. Beribu-ribu abad telah kita lewati dengan budaya ketimuran. Yang kita akui dan junjung sebagai budaya yang tinggi dan suci. Kemudian, agama kita datang sebagai pembebas dari belenggu budaya-budaya yang salah. Ia kemas budaya kita menjadi budaya timur-islam yang memesona dan bercahaya. Kita diikat dengan dua tali. Tali agama Islam dari Allah. Tali budaya ketimuran yang beradab. Maka, sama sekali tak pantas dan tak cocok bila hendak kita jiplak mentah-mentah apa yang telah dicipta orang-orang barat. Dimana budaya mereka telah membiarkan mereka berbuat sekehendaknya. Dan agamanya telah mereka letakkan di tong-tong pembuangan.
            Yang kita patut geleng sambil susah hati ialah, bangsa-bangsa di seluruh dunia, terutama dunia timur yang luhur dan berbudaya tinggi, mengambil itu semua dari barat untuk negeri mereka. Seolah-olah mereka datang membawa hadiah besar. Sementara yang kita lihat mereka membawa bom waktu untuk diledakkan.
            Bangsa kita menjadi pemuja barat tulen. Sumber hukum kita berasal dari bangsa Belanda. Sementara kita ialah bangsa Indonesia. Bukankah elok kita ganti saja dengan hukum kita? “Jangan! Sebab hukum-hukum barat ialah lambang kemodrenan dan keadilan!” kata mereka. “Keuangan kita memakai sistem-sistem kapitalis. Menerapkan sistem bunga. Sementara kita orang Islam dan Islam melarang bunga BANK. Bukankah elok kita ganti dengan sistem Islam? “Jangan! Keuangan kita takkan maju tanpa bunga BANK yang diajar barat!” kata mereka. Bar-bar dan diskotik berjamuran. Anak-anak muda kita berbonceng-bonceng, berpeluk-peluk tiada batas di muka umum. Perempuan-perempuan Islam kita menanggalkan kerudung mereka. Bukankah kita bangsa Timur dan budaya kita lebih luhur dan terhormat? “Tidak! Budaya kita telah tertinggal di belakang. Budaya kita adalah lambang ketidakmajuan. Sudah saatnya orang-orang berbuat semau mereka. Bebas nilai. Jangan disangkut-sangkutkan ini terikat budaya Timur atau barat. Perbuatan orang bebas nilai. Kebebasan dijamin sebagai manusia merdeka. Itu hak asasi manusia.”
            Begitulah. Tak jarang kita teteskan air mata menonton pertunjukan kebarat-baratan ini. Orang-orang inilah yang disebut Oksidental. Yang menganggap semua yang datang dari barat ialah simbol-simbol kemajuan. Padahal, para pembaca yang budiman, ada harga dari budaya barat itu. Ada pengorbanan yang harus ditumbalkan. Itulah permisivisme. Ketika kita hendak menerima budaya barat, harus kita mahfum pula, akibatnya pun harus kita terima. Akibat itulah, limbah budaya barat, yang dikatakan permisivisme.
         
   Bila kita hendak menerima pergaulan tanpa batas pada anak remaja-remaji kita, kita harus siap menerima perbuatannya—seks bebas, aborsi, hubungan penyimpangan, dan kekerasan perempuan. Itu semua didasarkan oleh nilai bebas berbuat. Bila kita hendak menerima bunga BANK, misalnya, harus kita siap menerima keadaan rakyat miskin kita mati sebagai orang lunta-lunta di jalanan akibat harta propertinya disita tanpa pandang kasih oleh BANK. Bila kita hendak menerima pakaian perempuan jangan diatur, maka kita harus siap melihat perempuan keluar dengan bra atau pakaian dalamnya saja. Itu semua perbuatan bebas nilai. Itulah permisivisme.
            Yang lebih keji, sebagian orang yang mengaku pakar pengetahuan mengatakan bahwa Al-Qur’an, wahyu Allah yang qath’i dikritisi, diganti, bahkan dihapus. Sebab pesan dan maknanya tak lagi sesuai dengan perkembang majuan zaman. Tafsiran ayat-ayat hukum boleh kita tabrak. Ayat-ayat yang melarang perempuan-perempuan muslim menikah dengan kaum lelaki kafir dibuang saja. Boleh. Asal cinta sama cinta. Pernikahan sesama jenis pun dilegal. Boleh. Asal suka sama suka. Zina yang harus dirajam atau dijilid seratus kali, boleh dibuang. Asal cinta dan tak ada paksaan. Itulah kejinya permisivisme. Perbuatannya bebas nilai! Yang bahkan membuang Tuhan ke tempat sampah! Tuhan tidak perlu mengatur kami. Ayat-ayat Tuhan itu terserah kami. Mau kami pakai mau kami alihkan mau kami campakkan, itu masalah kami. Kami ada akal! Bejatnya mereka.


            Ya Allah, lindungi kami. Lindungi bangsa kami. Lindungi agama kami. Lindungi negeri-negeri kami. Lindungi generasi di bawah kami. Jauhkan kami dari jahatnya setan-setan peradaban. Jauhkan kami dari musuh-musuh yang hendak menenggelamkan agama-Mu. Bebaskan kami dari belenggu mereka. Kuatkan kami untuk berdiri di atas agama dan budaya kami yang luhur dan tinggi. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Titik Nol

PROPAGANDA JEPANG

KHAN AGUNG MONGOL (DINASTI YUAN)