VIRUS FEMINISME KEPADA KAUM MUSLIMAH

Setelah dunia Islam dan negara-negara muslim masuk pada abad modern di mula-mula abad dua puluh, mulailah dimasukkan padanya nilai-nilai barat yang jelas-jelas bertentangan dengan pribadi kaum muslimin itu sendiri. Setelah dicoba hendak disekulerkan negeri-negeri muslim dengan dipisahkan unsur-unsur agama dari kehidupan—politik, hukum, sosial, budaya, dan pendidikan, yang berhasil di sebagian negara dan berhasil setengah hati sebab banyak ditolak di sebagian kalangan di negara lain, hendak pula disurupkan nilai-nilai lain padanya.
            Setelah dicoba hendak disekulerkan orang-orang muslim di negeri-negeri muslim agar jangan pula hendak mereka berhukum dan patuh lagi pada ketentuan agamanya, kini cara yang ditempuh musuh-musuh Allah lain lagi. Mereka buka beasiswa besar-besaran ke negeri mereka, mereka undang anak-anak orang Islam supaya belajar di negerinya. Pulang-pulang diharap nanti hendaknya mereka menjadi ‘sarjana Islam abad baru’, ‘sarjana Islam golongan muda’, yang menafsirkan Al-Qur’an pakai akal nafsunya. Supaya jangan lagi diikat-ikat mereka dengan ketentuan agama sesuai mau Allah dan Rasulullah. Supaya mau difatwakan mereka “boleh tidak puasa demi meningkatkan prokdutivitas”. Atau, “hendaknya diganti saja bahasa dalam shalat menjadi bahasa Indonesia agar lebih dekat maknanya.” Liberal, kata orang.
            Itupun berdiri di ambang garis-garis gagal. Sebab umat Islam cepat sensitif dan sadar. Masih banyak dari ulama-ulama kita yang mau buka corong suara menentang dan melawan. Tapi, ada yang disusupkan diam-diam. Pelan-pelan. Kerjanya bagai virus penyakit. Tak nampak. Tapi mematikan. Bila menjalar virusnya, menjangkiti wabah, rusaklah tatanan keluarga dan masyarakat. Apa dia? Itulah feminisme.
            Singkat penjelas, feminisme dibawakan agar para kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum pria. Mereka tidak disebelahmatakan. Dinaikkan stratanya. Dibuat seimbang-setara. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Jangan dihalang-halangi hendak punya hak milik. Jangan ditentang hendak melakukan suatu apa. Supaya sama dengan kaum pria, yang dinilai mereka telah mendominasi jantung peradaban. Hingga di bawah ketiaknyalah peradaban manusia harus bergerak. Atas kemauannyalah tatanan sosial disusun. Jadi kemauan kaum perempuan itu hendak dihancurlantahkan sajalah prinsip-prinsip macam demikian. Perempuan seimbang dengan pria. Apa yang hendak dan bisa dibuat oleh kaum lelaki, perempuan pun boleh dan bisa melakukannya!
            Apakah feminisme ini cocok dengan kaum perempuan kita? Kaum perempuan orang Islam?
          
Feminisme itu datang dari barat. Dibuat untuk perempuan-perempuan orang barat. Kenapa? Oh, rupa-rupanya sejak dahulu hingga zaman-zaman modern perempuan barat belum menjadi sepenuh manusia. Belum dianggap seutuhnya orang. Masih dipandang separuh ada separuh tiada. Bahkan hingga di tahun-tahun modern, masih terang diskriminasi terhadap kaum perempuan di barat. Dimana perempuan-perempuan itu baru beroleh hak milik pribadi di tengah abad ke dua puluh. Sebelumnya, kaum perempuan barat itu adalah milik suaminya. Properti suaminya. Tak sepenuhnya orang merdeka. Nama saja pun mustilah dicatut nama suaminya. Misal suaminya Smith Stuwart dan istrinya Mary. Maka nama istrinya Mary Stuwart. Bila mati suaminya dan kawin lagi ia, maka namanya diganti lagi seturut nama suami kedua. Begitulah sampai berkali bilang ia menikah.
            Perempuan barat tak boleh punya hak milik. Propertinya diatasnamakan suaminya. Dan bila hendak dijual, tak perlu diminta izin darinya sebab itu bukan hartanya. Sampai-sampai hendak duduk di parlemen, memilih dalam pemilihan umum baru lolos diperjuangkan di tengah-tengah abad dua puluh. Sebelumnya? Jangan ditanya lagi!
            Oleh karenanya, feminisme itu cocok buat kaum perempuan barat. Sebab lama sudah mereka hidup menderita di bawah peradaban mereka sendiri yang diklaim maju dan modern.
           
Huda Sha'rawi
Di dunia Islam, feminisme menjangkiti negeri-negeri yang diduduki oleh bangsa barat, yang rakyatnya dikirim untuk belajar ke barat, yang telah dibuat mereka cinta setengah mati dengan budaya-budaya barat. Setelah belajar ke Prancis, perempuan-perempuan Mesir menerima konsep feminisme dan hendak menerapkannya ke negeri mereka. Sebab dirasa-rasa negerinya pun menindas kaum perempuan di bawah otoritas kaum lelaki. Perempuan dikurung di Harem. Tak boleh keluar rumah kecuali dengan muka ditutup cadar. Pendidikan untuk kaum perempuan masih sedikit. Perempuan pun tak boleh duduk di kursi-kursi pemerintah.
Bukan Islam itu yang salah. Hanya saja pemerintah saat itu yang tak cakap bijaksana. Sejak agama ini turun empat belas abad yang lalu, telah diangkat hak-hak kaum perempuan agar sama dengan laki-laki di mata orang. Bila dulu perempuan dianggap aib cela hingga bila lahir dikubur saja hidup-hidup, islam datang untuk mengatakan bahwa perempuan juga manusia. Dibesarkan dengan baik akan diberi syurga. Laki-laki boleh memiliki harta? Perempuan pun demikian. Di masa jahiliyah para perempuan tak mendapatkan harta waris—bahkan mereka sendiri lah yang dijadikan harta warisan. Maka Islam turun dan memberikan warisan pada kaum perempuan. Pada masa jahiliyah wanita dapat ditalak berkali-kali. Seratus kali kalau pun terjadi, suaminya berhak kembali lagi. Tapi Islam datang melindungi harga diri perempuan. Talak hanya boleh dua kali. Setelahnya tak dapat ruju’ lagi. Bila lewat masa iddah, harus nikah baru lagi. Mahar baru. Zaman jahiliyah perempuan perempuan bersanggul-sanggul tinggi, bergelang kaki, digoda laki-laki tak tentu siapa. Islam datang untuk melindungi kaum perempuan. Maka diperintahkan mereka berkerudung dan menutup seluruh tubuh.
Tapi perempuan-perempuan kaum muslim pada masa penjajahan bangsa barat telah dipicikkan oleh kenyataan betapa sempurna dan baik agamanya. Mereka pun hendak menuntut juga. Seturut dengan perempuan-perempuan barat. Sama dengan kaum pria. Setara dengan mereka—padahal ini semua telah ada kian dalam agama Islam.
Wanita Mesir berdemonstrasi
Maka turunlah kaum-kaum perempuan itu berdemonstrasi. Mengkritik pemerintah. Terkenallah seorang perempuan bernama Huda Sha’rawi, yang dijuluki ibu feminisme Islam. Dia telah menulis buku The Harem Years, yang langsung terkenal cepat di seluruh negeri-negeri barat. Huda mengajak kaumnya untuk menuntut pemerintah memerhatikan kehidupan para perempuan Mesir. Pendidikan, tatanan sosial yang didominasi kaum lelaki, kesejahteraan mereka sebagai manusia.
Lambat laun, tuntutan feminismenya berubah lagi. Mereka minta agar kaum perempuan jangan diatur hendak pakai apa. Mereka minta supaya dilepas dan jangan lagi disuruh pakai cadar di muka umum. Itu pun dikabulkan. Kemudian, berubah lagi belakangan. Jangan perintahkan kaum perempuan memakai kerudung di muka umum. Biarkan perempuan berpakaian sebagaimana perempuan-perempuan barat. Pemerintah jangan atur-atur pakaian perempuan. Inipun akhirnya dikabulkan juga!
Maka keluarlah perempuan-perempuan itu dari rumahnya. Dengan bangga memakai rok pendek sedengkul, baju blus dengan kerah bulat di bawah leher dan lengan pendek. Kadang-kadang digunakan juga jaket-jaket dan mantel berbulu tebal yang tenar di Eropa, lalu topi-topi kecil di kepalanya. Ke pantai mereka dengan bikini-bikini. Berfoto ria, bermain voli dengan kaum lelaki. Gagasan macam ini cepat menyebar ke negeri-negeri tetangganya. Apalagi negeri-negeri Arab di sekitarannya dan negeri muslim lain memang tengah mensekulerasikan diri. Hendak melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan agama. Maka diterimalah gagasan supaya wanita jangan diatur hendak berpakaian macam apa. Bahkan di beberapa negara dilarang perempuan itu keluar dengan kerudung. Tak dapat sekolah. Tak dapat kerja. Itulah hasil feminisme mereka. Itulah ujung tombak perjuangan keadilan Huda Sha’rawi. Menyulap kaum perempuan muslim sama dengan perempuan-perempuan kafir.
Sekarang, di awal abad-abad dua puluh satu, setelah sukses membebaskan kaum perempuan dari kewajiban menutup auratnya, feminisme melemparkan rantai baru pada kaum perempuan kita.
Pertama, perempuan-perempuan kaum muslim harus dilepas dari tanggung jawabnya, dari status dirinya sebagai perempuan, dari kodratnya sebagai ibu dan istri. Dia tak boleh disuruh saja mencuci, memasak, mengurus popok, mengepel-menyapu, tawar-tawar harga pokok di pasar. Perempuan harus sama seperti lelaki! Apa yang dkerjakan kaum lelaki, musti bisa pulalah kaum perempuan. Maka kaum perempuan berubah dari memiliki segalanya menjadi harus mengerjakan segalanya. Mulailah ia lepaskan ikatan-ikatan statusnya dengan keluarga. Habis-habis begitu saja waktunya di luaran. Mengejar karier. Sampai malam di kantor. Bergaul tanpa batas dengan suami-suami orang. Tak tahu anak tak tahu suami. Kadang kala hendak bersaing pula ia dengan pendapatan suaminya sendiri. Rumah tangganya sudah macam perlombaan siapa yang menang siapa yang kalah. Hendak dibuat pongah lah oleh para feminisme para istri itu terhadap suaminya sendiri. Padahal suaminya itu orang yang diwajibkan tunduk setia padanya.
Belum lagi soalan anaknya. Berapa banyak kaum perempuan yang telah tercandu-candu dengan pil feminisme dalam bentuk karier, membuang anaknya kepada tangan-tangan perawat dan pembantu. Akhirnya anak-anak itu dibesarkan oleh ‘ibu pembantu’, bermental seperti pembantu. Tak ada ditanamkan padanya penyemangat hidup dari ibunya, hingga anak-anak yang tumbuh kembang dari ibu penganut feminisme besar-besar sebagai orang kosong jiwa. Bahkan, di beberapa kasus, sebab merasa repot dan merasa anak-anak itu menghalangi laju kariernya, hendak pula kaum perempuan itu menikah tapi tak beranak. Di saat orang lain mati-matian supaya rahimnya mengeluarkan anak, ada pula yang mati-matian tak ingin beranak.
Kedua, feminisme zaman kita telah disusupi oleh kampanye-kampanye gelap demi tujuan LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Ramai-ramai para perempuan—yang mayoritas kaum perempuan orang Islam—berdemonstrasi, pawai ramai-ramai, parade di jalan-jalan, membawa pesan-pesan jangan atur pakaian perempuan. “Jangan salahkan selangkanganku!”. “Bukan selangkanganku yang salah. Tapi otakmu yang ngeres!” Tapi di telisik lagi dalam-dalam, ada yang membawa spanduk bertulis, “Jadi perempuan tak perlu bervagina!” “Jadi perempuan tanpa rahim!” Yang mengusungnya adalah orang-orang berpenyakit seksual sebab laki-laki yang teringin menjadi perempuan.
Inikah ujung meriam dari feminisme? Inikah kemenangan yang diidam-idamkan kaum perempuan Islam sebenarnya? Sekarang mari kita berpikir, cocokkah penyakit ini diteguk oleh para wanita kita? Para wanita kaum muslimin? Padahal agamanya sendiri telah menjadikannya manusia merdeka sejak kali pertama turun. Padahal agamanya telah menjadikannya dapat memiliki apapun yang ia inginkan, dapat menjadi Nyonya atas dirinya sendiri, dapat berkehendak sendiri. Hak-haknya tak boleh dirampas. Dan kewajibannya pun dijelaskan.
Perlulah kiranya kita ingati lagi kaum perempuan kita, dimana garis batas mereka musti berdiri. Agar tidak jadi mereka makhluk-makhluk lancang. Yang tidak hanya melewati batas-batas kodratnya, tapi juga menentang dan melawan Tuhan!

Ditulis di: Bumi Allah
6 Shafar 1440 H


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Titik Nol

PROPAGANDA JEPANG

KHAN AGUNG MONGOL (DINASTI YUAN)