TUGAS PARA PENDAKWAH TAK PERNAH USAI

Kemarin, datanglah seorang bapak bertanya kepada saya. Agak menyepi juga kami bercerita, sebab mungkin ia malu dan ceritanya agaknya cerita pribadi. “Ustadz, adik bungsu saya telah menikah. Dia duda beranak satu. Menikah pula ia dengan janda beranak satu.” Saya katakan padanya “alhamdulillah. Janda cerai apa, Pak?” Dijawabnya cerai hidup. Termangutlah saya. Disambungnya lagi cerita itu dengan lambat dan hati-hati. “Tapi, iddah istri adik bungsu saya itu baru satu bulan. Bagaimana nikahnya itu, Ustadz?”
            Membelalaklah mata saya tak percaya. Terperangah tak menyangka. Bagaimana bisa ada janda cerai hidup yang menikah dalam masa iddah baru satu bulan. Padahal suaminya masih lagi lebih berhak merujuknya daripada laki-laki lain. Sebagaimana yang Allah terangkan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 228. Dalam hati saya makin bergemuruh. Andailah ia ditinggal dalam cerai mati, dikatakan orang “belum lagi berumput kuburnya sudah pula ia menikah.” Pernikahan yang tak sah, pula.
            Maka dengan berani namun santun saya berkata. Saya tahan kegeraman dan kepedihan hati saya yang tercabik-cabik ini. “Pak, nikahnya tidak sah. Hubungannya sama dengan zina. Sebab perempuan yang belum habis masa iddahnya tidak boleh dinikahi. Jangankan menikah, hendak meminang pun dilarang. Sebab suaminya lebih lagi berhak daripada adik bungsu bapak.”
            Merekah jugalah mata bapak itu. Berkaca-kaca. “Jadi bagaimana solusinya?”
            “Bapak hitung dari hari pertama sejak ia ditalak suaminya, hitung masa iddahnya tiga kali suci (haid). Kalau sudah sampai akhir iddahnya, wajib mereka ulang nikahnya. Sebab nikah yang pertama itu tak sah.”
            “Sudah hampir sebulan juga mereka serumah, Ustadz.”
            “Hendaknya dipisahkan kedua-duanya, Pak. Suruhlah keduanya sabar menunggu. Masa disuruh menunggu setidak-tidaknya satu bulan lagi saja pun mereka tak sanggup. Demi nikah yang sah. Boleh bapak bayangkan. Seandainya sajalah ada anak yang lahir dari nikah mereka yang dilakukan satu bulan yang lewat itu, maka anak zinalah statusnya. Tidak berhak atas warisan ayahnya. Kalau perempuan, tak dapat dinikahkannya sebagai wali. Dan tidaklah dinasabkan padanya. Melainkan pada ibunya sebab ia anak zina dan anak zina hanya dinasabkan pada ibunya.”
             Diam ia sejenak. Merenungi kata-kata saya. Hendak dilarangnya adiknya bertemu dengan si janda, berkendara sendiri adik bungsunya. Ada uangnya. Ada kakinya. Ada kemauannya. Ada akal pikirannya. Siapa hendak mengatur-ngatur lelaki dewasa? Apalagi mengaku si bapak bahwa orangtua mereka telah tiada dan ia satu-satunya orang yang diharap hendak menjadi payung pelindung sanak-saudaranya yang muda-muda.
            Yang membuat saya menangis kuat-kuat dalam hati ialah, mengapa ada orang tak tahu wanita baru dicerai suaminya tak boleh dinikahi orang? Maklumlah kita bila ia tak tahu berapa lama. Tapi tak tahu bahwa perempuan baru dicerai tak boleh dikawini orang itu kelewat batas! Apa tak pernah disinggung dalam wirid-wirid yasin, dalam pengajian-pengajian bulanan, dalam ceramah-ceramah maulid, isra’ mi’raj, dan hari-hari besar lain. Apa tak pernah disinggung para penyuluh KUA?  Saat penataran hendak menikah, bukankah dibimbing para calon yang hendak menikah itu tentang hal-ihwal rumah tangga. Tentang talak-rujuk.
            Baru-baru ini, ditempatkan saya dalam sebuah program Kuliah Kerja Nyata kampus. Disebarlah seratus delapan belas kelompok ke sebagian wilayah Sumatera Utara. Dari muka kota hingga ke dalam perut-perut desa, ke usus-usus paling dalam. Tempat tak ada angkutan umum dan ojek. Tempat tak ada sinyal dan susah air. Disuruh mereka mengabdi pada masyarakat, merubah yang salah, meluruskan yang bengkok, memputihkan yang hitam. Satu bulan lamanya.
            Maka ditempatkan pula saya di salah satu tempat terdalam. Jauh dari peradaban ribut kota. Gelap dari pesta lampu bangunan. Sepi dari klakson truk-truk besar. Tak terdengar sejauh telinga menganga angkutan umum bergaduh. Tak terlihat sehampar mata bangunan pencucuk langit. Jalan-jalannya alpa dari kemacetan. Aroma anginnya segar tak mengancam. Sinyalnya susah hendak ditangkap handphone. Tapi, di balik rimbunnya tirai peradaban, hampir-hampir punah keberadaan agama dari sana. Hampir hengkang nilai-nilai islam dari kehidupan mereka.

            Sholat Jumatnya tak penuh. Hanya tujuh orang dari salah satu dusun. Padahal jelas-jelas penduduknya seratus persen bertanda penduduk islam. Para perempuannya bagai tak mengenal kaji menutup aurat—dibandingkanlah dengan perempuan-perempuan islam kota, yang walau berdaster gantung pun, tetap ditutupnya rambutnya dengan jilbab. Adzannya tak penuh. Hanya Subuh, Maghrib dan Isya. Itupun tetap tak ada juga yang datang. Jarak masjidnya kurang lebih tujuh kilometer dari tempat kami berdiam. Sementara musholanya satu kilometer. Tak terdengarlah adzan ke tempat kami. Hingga kami pun acap kali mentengah-tengahkan waktu untuk solat. Tak berani di muka waktu. Sebab syak belum masuk.
            Main akal jualah kami. Hendak diajak orang-orang yang mengaku islam itu kembali ke masjid. Setidak-tidaknya, bila tidak shalat lima waktu, shalat jumat sajalah mereka datang. Dibagikanlah bubur dan kolak pisang, dibuatlah cara-cara halus dan tidak menyinggung hati, supaya disampaikan pesan pada suami-suami mereka agar ke masjid menunaikan shalat jumat. Malang tak dapat ditolak untung tak datang diraih, bubur diambil shalat tak datang. Umpan dimakan ikan tak naik ke muka air. Ada pula istri-istri yang menipu keberadaan suaminya ketika ditanya. Ada pula yang mengelak dan berkata, “kalau belum mencapai timbangan buah, belum boleh sholat.”
            Kali waktu, datang pula anak-anak. Hendak belajar dan bermain. Ditanyalah pada mereka siapa nama Nabinya, tak ada yang tahu. Andailah hati itu buatan manusia, niscaya telah koyaklah ia sebab sedih bukan main. Maka dengan cerdik kami tembakkan layar dengan infocus, diputarlah nyanyian Raihan nama-nama nabi dan rasul. Bertepuk tanganlah sambil menyanyi-nyanyi agar mereka hapal. Diajarlah mereka niat-niat shalat, cara wudhu, doa-doa pendek, hapalan surah-surah.

            Banyak pula yang membuat tak indah lagi makna suci pernikahan di sana. Sudah tak dianggap lagi pernikahan itu mengikat, sakral, bukan perkara main-main. Istri orang main-main mata dengan suami orang. Datang laki-laki itu bertandang ke rumah perempuan yang suaminya pergi bekerja. Ada perempuan yang bosan pada suaminya, menjajankan diri ia ke rumah-rumah tetangga. Tahu suaminya. Diam saja. Entah tak cemburu entah tak mengerti hendak marah. Sampai pun ada hasil anaknya. Tak juga ia cerai istrinya. Sebab mungkin bila dicerai, hilang rumah yang diberi perusahaan. Ada pula laki-laki yang menikah dengan istri orang. Dibawanya lari. Diberinya uang. Menikah di camat lain. Begitu dapat olehnya surat nikah, kembali ia ke desanya. Satu istri kongsi berdua. Bila hamil, mungkinlah hendak mengundi mereka. Apalah bedanya macam pernikahan-pernikahan zaman jahiliyah dahulu? Istri satu suami empat. Lima. Begitu hamil, diundi siapa yang hendak menafkahi. Padahal mungkin saja itu bukan anaknya.
            Sekarang, mari kita merenung. Kemanakah para pendakwah? Kemanakah orang-orang yang bicaranya ingin merubah umat? Yang retorikanya berkoa-koa bahwa mereka berjuang untuk keadilan. Untuk kesejahteraan. Untuk kemajuan dan kecerdasan umat. Kemana orang yang selalu meminta mig dan toa saat ia bicara. Suaranya didengar. Pendapatnya diangguk-angguk setuju. Kemana pula organisasi-organisasi yang gemar membuat proposal, meminta duit, buat program, katanya. Tapi masih ada saja desa-desa yang tertinggal. Bukan miskin! Tapi tertinggal.
            Para pendakwah tengah-tengah kota banyak yang nyaman dengan kondisinya. Santai saja sebab yang ia lihat masih zona amannya. Karena agama tumbuh subur dan berkembang pesat di kota. Bila dahulu orang berkata, kalau hendak melihat agama pergilah ke desa, sekarang orang harus berkata, kalau hendak melihat kebangkitan agama pergilah ke kota. Anak-anak gadis orang islam di kota sudah paham soal menutup aurat. Para anak-anak mudanya banyak yang pergi mengaji, meninggalkan pergaulan hitam yang tak jelas. Kadang-kadang mereka mengaji itu pun diantarkan oleh orangtuanya. Bersama-sama pergi melihat Ustadz dari pulau seberang berceramah. Penuh masjid-masjid hingga ke jalan-jalan. Bila dahulu orang beramai sesak melihat artis setengah telanjang menyanyi bagai orang gila, kini meledak orang hendak melihat Ustadz bicara. Bertambah-tambah api agama mereka seiring waktu. Sekolah agama menjamur di semua sudut. Program tahfizh ditambahkan sebagai daya tarik. Sebab orangtua islam yang tinggal di kota kini mencari-cari sekolah dimana anak mereka dapat menjadi seorang penghapal Qur’an.
            Inilah yang dilihat oleh pendakwah kota. Mereka yang terlanjur nyaman tentu ogah-ogahan bergerak. Uring-uringan hendak melosok ke pinggiran. Apalagi mereka yang jadwal kajiannya telah padat, uang amplopnya besar, disalamkan orang sambil segan, dikawal, dijemput dengan mobil eksklusif. Diberi penginapan dan makannya ditanggung. Dalam hati kecilnya berbisik, kenapa pula hendak kulepas ini semua? Harus pulakah aku melosok ke sudut-sudut pinggir sana? Buat apa?
            Padahal hampir-hampir murtad saudara-saudaranya itu di sana. Hampir-hampir jadi orang tak beragama. Hampir-hampir dikristenkan orang.
            Rupa-rupanya tugas para pendakwah itu belum usai, dan takkan pernah usai. Tugasnya lebih panjang dari umurnya. Takkan siap walau ia baktikan seluruh hidupnya untuk mengabdi. Sebab jalan Allah itu panjang. Dan para pendakwah itu hanya diperintahkan untuk mati di atasnya. Jangan ditinggal. Jangan ditelantarkan. Sebab bila pengajarannya hidup, kata-katanya didengar dan dibuat amal, mati pun ia sama rata dengan tanah, musnahpun tulangnya jadi abu, pahalanya mengalir bagai mata air segar.

            Oleh karenanya kita katakan pada para pendakwah, hendaklah bergerak kita bersama. Menyisiri pinggiran. Menyusuri peradaban terjauh. Yang tak tersentuh kulit. Yang tak terlihat mata. Yang tak pernah didengar telinga. Menyambangi anak-anak yang miskin agama, menarik mereka dari sumur-sumur kegelapan dan jauh. Memberi kehangatan di tengah-tengah dingin membekukannya dunia. Menjamah tangan-tangan yang menagih uluran. Memberi kabar gembira betapa beruntungnya mereka dalam pelukan islam. Hendaklah diabdikan diri itu benar-benar pada umat. Tidak lari dan buang badan. Tidak lempar batu sambil berlari ke belakang.
            Hendaknya kita katakan, tugas para pendakwah belum siap!

Bumi Allah

28 Dzul Hijjah 1439 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Titik Nol

PROPAGANDA JEPANG

KHAN AGUNG MONGOL (DINASTI YUAN)