Pendidikan Islam: Benteng Terakhir Kita

Suatu bangsa akan dinilai berhasil jika mutu pendidikannya telah mampu mengantarkan orang-orang didikannya menjadi manusia yang maju, beradab, menjunjung nilai-nilai kemanusian dan kemodrenan, memelihara nilai-nilai yang dianggap luhur dan suci. Ia telah menciptakan manusia yang dapat berinteraksi dengan peradaban, telah mampu mengelola dunia, telah lihai dalam memimpin, telah cakap dalam membina masyarakat.
            Bagi kita, masyarakat muslim yang bernapas dalam budaya ketimuran, telah jelas rambu-rambu yang boleh dan tidak kita lalui. Agama kita yang luhur telah memberikan tujuan. Dan agama itu pulalah yang menyediakan jalan-jalan menggapainya. Ia memaksa pemeluknya untuk mematuhi kitab aturan. Harus berpegang dalam setiap hidupnya.  Maka hidupnya pun senantiasa terikat oleh aturan-aturan agama.
Oleh karenanya, kita pun memahfumi bahwa pendidikan kita haruslah membentuk peserta didik yang berada dalam payung-payung Islam. Tidak lepas agamanya. Tidak hilang aqidahnya. Tidak lekang keyakinannya pada Tuhan. Tidak dibuat ia macam orang tanpa rambu aturan. Dan oleh karenanya, dibuatlah pendidikan Islam. Untuk menyaingi pendidikan model barat sekuler yang dikira orang maju dan modern. Yang dipisahkannya antara belajar agama dan belajar pengetahuan umum. Pengetahuan umum harus bebas dari napas agama. Agama harus netral. Tak boleh susup menyusup ke pengetahuan umum.
Anak bangsa kita delapan puluh lima persen berislam. Maka haruslah mereka dididik secara Islam. Kalau berpendidikan pun tak diatur agama, maka khawatirlah kita mereka kelak akan hidup tak mau diatur oleh agama. Padahal di tangan-tangan mereka lah tongkat estafet perjuangan bangsa dilanjutkan. Kalaulah mereka pun rapuh diri memegang agama yang dianggap suci dan berharga, kemanakah dibawa mereka bahtera bangsa ini berlayar? Jadi apakah negeri ini kelak? Negeri sekuler yang dipisah antara agama dan urusan masyarakat? Atau bahkan negeri ateis. Dimana agama tak boleh punya tempat dalam tubuh negara.
Rahmah El Yunusiyah

Pendidikan Islamlah yang melindungi anak-anak kita. Sejak dahulu, pendidikan Islam mencegah anak-anak bangsa berlaku keji. Mereka adalah jaring-jaring penyelamat di tengah kekuatan pemerintah penjajah untuk menghapus nilai-nilai agama. Patutlah berterimakasih kita pada pondok-pondok pesantren tradisional, serta madrasah-madrasah yang didirikan oleh organisasi-organisasi Islam. Mereka tanamkan rasa malu. Bahwa mereka orang agama. Ada rambu ada pagar. Mereka tanamkan rasa cinta agama. Agar apinya tetap hidup dan nadinya tetap berdetak. Agara agama itu tak hilang dikikis kemajuan. Agar agama tetap menuntun jalan mereka di tengah-tengah cabang ilmu yang berkembang. Maka berdirilah Diniyah Putri Padang Panjang oleh Rahmah El- Yunisyiah. Berdirilah Pondok-Pondok modern macam Gontor oleh K.H. Muhammad Sahal. Menjamurlah Sekolah-sekolah Islam Terpadu dimana-mana. Di samping keberadaannya untuk mendampingi madrasah yang diurus oleh pemerintah. Kesemuanya itu untuk menjaga agar anak-anak didiknya tetap maju pengetahuannya. Namun tak tercecer-cecer agamanya.
Diniyah Puteri Padang Panjang

Terpeliharalah anak-anak pendidikan Islam itu dari jahatnya serigala-serigala zaman. Dari kejinya pemikiran untuk melepaskan agama. Ketika tahun-tahun lampau dimana jilbab masih lagi dilarang-larang di sekolah negeri, pendidikan Islam telah lebih dahulu mewajibkan anak didiknya untuk mengenakannya. Sebab mereka orang beragama. Mereka punya rambu punya batas.
Kini, sudah sadar musuh-musuh Islam itu. Takkan dapat mereka hancurkan umat ini sebelum dihancurkan dulu agamanya. Bila tak bisa dibuat murtad, dibuat saja mereka tetap berislam. Tapi benci berislam. Tak suka berislam. Tak mau melakoni perintah Islam. Cangkangnya Islam. Isinya entah Kristen entah tak beragama lagi. Begitulah kata Zwemmer, zending dari Amerika. Dan begitu pulalah cara yang dilakukan para Orientalis barat.
Oleh karenanya, mereka rusak agama ini dari dalam. Mereka undang orang-orang Islam belajar di negeri-negerinya. Belajarlah mereka hadits, ilmu Al-Qur’an, dari orang-orang barat—yang bahkan tak bersyahadat bahkan bersunat. Mereka didik dengan cara mereka. Dengan pemikiran mereka. Dengan apa yang mereka inginkan. Dapatlah dibayangkan bagaimana orang-orang Islam belajar tentang Islam dari orang-orang yang bukan Islam. Akhirnya orang-orang Islam itu pulang ke tanah airnya sebagai orang Islam yang lain. Yang kosong. Yang lain isi dengan cangkangnya. Dia masih berislam. Tapi jiwanya telah liberal. Ada yang selamat. Yang belajar ke barat hanya untuk mengumpulkan senjata guna melawan orang-orang barat itu sendiri. Yang mati-matian mempertahankan keyakinannya pada jalan yang lurus. Tapi jumlahnya pun mungkin tak banyak.
Para Pendiri Gontor

Akhirnya, karena lulusan luar negeri, bergelar Phd. dari kampus-kampus terkenal di barat, orang-orang ini diterima di pendidikan Islam. Diharapkan memajukan pendidikan Islam itu. Namun kenyataannya dituntunnya pendidikan itu jauh-jauh dari sarangnya. Ia antar pendidikan itu dengan cara yang kini diyakininya. Akhirnya, liberal lah anak didik bangsa.
Datang pula gelombang ombak kebudayaan pada anak-anak pendidikan Islam. Makin deras makin tahunnya. Berbagai macam racun diminumkan kepada mereka. Atas nama kemajuan. Atas nama kemodrenan. Anak-anak itu pun mereguknya sukarela. Tak tahu bahwa mereka telah menanggalkan pakaian agamanya pelan-pelan. Tak tahu bahwa telah mereka lunturkan warna pendidikan agama itu sedikit demi sedikit.
Sekarang, sudah mulai rusaklah pendidikan Islam kita. Sudah tak tampak lagi apa beda pendidikan Islam dengan pendidikan biasa. Anak-anak itu bergaul sebagaimana orang-orang tak berpendidikan islam melakukannya. Anak-anak itu berpenampilan sebagaimana anak-anak tak berpendidikan islam menampilkannya. Mereka bergaul tanpa batas dengan lawan jenisnya. Berpacar-pacaran, duduk di bawah lingkup tempat sepi. Berangkul-rangkul macam suami istri. Berpeluk-peluk di atas kereta. Baju kurung yang dahulu sampai ke bawah lutut, kini dipangkas hingga sepaha. Dipangkas lagi hingga sepinggang. Hingga kalau naiklah ia ke kereta, mengelapklah bagian belakangnya. Yang lebih membuat kita jijik lagi, disampirkannya jilbab yang harusnya dilabuh hingga ke dada ke balik punggung. Ditonjolkannya dadanya. Ia kenakan rok sempit membentuk bokongnya. Lalu berpose dengan gaya erotis. Tak buang bagai lacur!

Para tenaga pendidik Islam pun telah berubah sekuler. Agama dijadikan sebagai pelengkap warna saja. Mulailah tenaga pendidik itu berkata ‘jangan satukan pendidikan umum dengan agama!’ Padahal ia mengajar di sekolah agama. “Jangan kaitkan aurat dengan pramuka. Jangan kaitkan agama dengan paskibra! Jangan pakai jilbab menutup dada ketika masuk kelas seni!” Maka anak-anak pendidikan Islam pun dikenakan rok pendek sepaha ketika mengibar bendera, dipaksa melepas jilbabnya. Anak-anak pendidikan Islam dipaksa memasukkan jilbab ke dalam kerah bajunya. Agar nampak lencana-lencana di dadanya. Dipaksalah mereka memasukkan jilbabnya ke dalam kerah. Agar nampak hiasan baju tariannya. Maka anak pendidikan Islam praktis menjadi bukan apa-apa! Tak ada lagi maknanya.
Kalau begini terus, mau jadi apa bangsa kita? Mau kemana agama dibawa? Dikubur sajakah di dalam tanah dua kali satu?  Anak hilang dapat dicari. Agama musnah kemana dicari ganti?
Kalau sudah dijebol benteng kita. Apalagi yang tersisa?
Akankah kita tidak pikirkan?

Ditulis di: Bumi Allah

30 Syawal 1439 H 

Komentar

  1. MasyaAllah. Kata2 nya menyentuh hati sekali. Menyadarkan diri.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan di Titik Nol

PROPAGANDA JEPANG

KHAN AGUNG MONGOL (DINASTI YUAN)